stll

475 49 9
                                    


God is within her, she will not fail.

Psalm 46:5

***

Tidak henti-hentinya Max mengumpat dalam hatinya.

Di tengah sebuah taksi yang terjebak macet parahnya lalu lintas Kota Malang, tatapannya bergerak ke sana ke mari untuk menemukan Audrey yang hilang lebih cepat dari perkiraannya.

Ponselnya digenggamnya begitu kuat sebagai bentuk kekecewaan dan kecemasan karena benda itu berulang kali gagal menghubungkannya dengan gadis yang sedang hilang itu.

Kegagalan sambungan itu membuat hatinya menjadi setidaktenang itu sampai-sampai membuat Max mengeratkan rahangnya begitu erat. Tanpa sadar, giginya begemertak hampir menimbulkan bunyi, seakan emosinya ingin meledak entah kepada apa atau siapa.

Hal yang begitu kentara terlihat itu membuat supir taksi meliriknya penuh kengerian. Tapi, Max tidak peduli.

Dia tidak menyesal membuat suasana di dalam sana menjadi begitu tegang, yang dia sesali adalah otak sialannya yang tidak menahan kepergian Audrey tadi. Namun, tak ayal, hatinya saat itu berbisik untuk memberikan sedikit ruang pada gadis itu untuk bernapas dan berdamai dengan kenyataan.

Max melirik jam tangannya, sudah hampir setengah jam dan kemacetan itu belum juga terurai.

Setelah berpikir sesaat, cowok itu berkata cepat, "Saya turun di sini. Berapa tarifnya?"

"Tapi, hotelnya masih jauh, Mas. Apalagi kalau jalan-"

"Berapa tarifnya?!"

Pak supir menelan salivanya kasar.

"Nggak usah, Mas. Turun aja, saya gratisin," ujar supir itu sambil melirik Max takut-takut dari kaca spion depan.

Tanpa banyak bicara lagi, cowok itu turun dari sana dan berlari di jalan yang diharapkannya membimbingnya ke hotel—satu-satunya tempat yang menurutnya dijadikan Audrey tujuan setelah memiliki waktunya sendiri atau malah tempat yang dijadikan Audrey untuk memiliki waktunya sendiri.

Tidak lama dari itu, suara klakson terdengar heboh mewakili protes keras para pengendara yang jalannya tersendat oleh langkah-langkah Maximus Ryan yang seenaknya. Semua orang seakan mendendam pada cowok yang bahkan tidak menghiraukan mereka itu.

Sembari melangkah, cowok itu masih tetap berusaha menghubungi nomor telepon Audrey untuk yang kesekian kalinya.

"Nom-"

"Fuck," rutuknya, lalu mempercepat langkahnya.

Tangannya yang terkepal menggenggam ponselnya semakin erat. Semua inci tubuhnya tidak menandakan sesuatu yang baik-baik saja. Matanya berubah menjadi tajam dan sangat fokus ke depan, rahangnya mengetat, bibirnya membentuk satu garis lurus, dan hatinya berada di kondisi terburuk yang pernah dialaminya selama delapan belas tahun hidupnya.

Tanpa gadis itu, semuanya tidak pernah baik-baik saja.

Dan Max baru menyadarinya saat itu, ketika keadaan kelewat genting dan yang bisa dilakukannya hanyalah berharap dan berdoa sambil berusaha untuk yang terbaik yang masih Tuhan izinkan untuk terjadi—di samping segala perbuatan brengseknya yang meninggalkan gadis itu di saat-saat krusialnya dulu.

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang