cnvrstn

683 68 3
                                    

don't hurt her.

***

"Mama mana?" tanya Max sesampainya di rumah.

Jam menunjukkan pukul 22.00. Sudah lewat tiga jam dari jam malamnya. Tapi, untungnya, sesampainya di rumah, Ayana tidak ada di dalam sana. Sehingga dia tidak perlu mendengar ocehan yang sama dari yang sudah-sudah.

Stephanie melirik kakaknya sejenak dari balik ponselnya. TV di hadapannya menyala tapi tidak diberikannya sedikit perhatian pun. "Papa nggak ditanyain."

"Oh iya, lupa." Max melepas sepatunya, dan tidak menuruti nasihat ibunya untuk meletakkannya di rak dengan rapi. "Mama mana?"

"Ish," kesal Stephanie. "Mama sama papa ke dokter. Emangnya mama belum bilang sama lo?"

Max hampir menggeleng ketika dia mengecek ponselnya dan menemukan pesan singkat dari ibunya yang mengatakan bahwa kedua orangtuanya pergi ke dokter, dan makan malam belum ada di rumah, sehingga tanggung jawab itu diserahkan kepada Max.

"Mana makanannya?" tanya Stephanie yang sudah menatapnya terang-terangan.

Max nyengir.

"Woy, yang bener aja lo," gadis kelas delapan SMP itu mendecak kesal. "Lo gak bawa makanan, hah?"

Cowok itu menggeleng sebagai jawaban.

"Bikinin mi, cepet."

"Dih?"

"Kan lo gak bawa makanan, jadi, sebagai gantinya, masakin gue makanan," perintah gadis berumur empat belas tahun itu.

Max berdecak kesal. "Mi apa?"

"Apa aja, asal bisa dimakan." Stephanie menghampiri kakaknya yang mulai sibuk di dapur. "Yang bisa dimakan, loh. Terakhir lo masak mi rasanya kayak seblak tai."

"Anjir." Max mendengus. "Seburuk itu kah masakan gue?"

"Lebih buruk dari itu, tapi gue gak tau ngumpamainnya gimana. Masak mi aja gak bisa, culun lo."

"Ampun, Nyai," ujar Max malas.

Stephanie berdiri di sebelah kakaknya, memperhatikan setiap pergerakan kakaknya. "Harus eatable, loh. Inget."

"Hm."

"Awas kalo guntingnya belecetan minyak," peringat Stephanie tepat ketika minyak itu melumuri kedua kaki gunting ketika Max menggunakannya. "NAH KAN. BARU AJA GUE BILANGIN."

"Ck, repot lo ah." Max melemparnya masuk ke dalam wastafel. "Belum tau teknologi yang namanya cuci-piring, ya, Dek?" Max menepuk puncak kepala adiknya dua kali.

"Holy shit, tangan lo kan bekas minyak!!"

Max tidak peduli akan gerutuan adiknya yang masih mengomel dan kerepotan membersihkan rambutnya yang sepertinya terkena minyak. Dengan malas, dia menusuk-nusuk mie yang dimasaknya. "Udah belum, nih?"

"Ya kali, ini mah sama aja gue makan mie yang gak dimasak." Stephanie mengambil alih masakan itu sejenak. "Tiga menit lagi."

Max menghembuskan napas lelah.

"Kenapa, lo? Capek?"

"Menurut ngana?"

"Ya elah, kerjaannya cuma pacaran doang padahal."

"Tau apa lo?" tanya Max malas.

"Lah, lo kan emang gak pernah belajar. Terakhir belajar kapan coba gue tanya?"

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang