rfg

338 38 16
                                    


her sins, which are many, are forgiven.

Luke 7:47

***

Malam itu pukul 21.00 ketika akhirnya Audrey sampai di rumahnya dengan wajah berseri-seri.

Jemarinya tidak henti-hentinya memainkan liontin perak yang diberikan Max padanya beberapa saat lalu. Cengirannya juga tidak pernah hilang, pasalnya pikirannya terus memutar ulang kejadian manis tadi. Saking senangnya, beberapa kali Audrey memekik tertahan dengan pipi merona.

Orang gila itu terlihat begitu bahagia.

"Kamu ke mana aja."

Hingga suara itu datang dan pemiliknya mencubit pinggangnya pelan.

"Aduh, mama geliiii," ujar Audrey sambil terkekeh pelan. "Tumben nanya, biasanya suruh ngupas bawang."

Maria baru mau menjawab ketika kalung itu masuk ke dalam penglihatannya. Ibu-ibu berdaster itu pun segera bertanya, "Itu kalung dari mana?"

Mendengar ibunya menyinggung benda itu, mau tidak mau Audrey menahan cengirannya mati-matian.

"Oh, hai, pacarnya Max."

Kali ini, gadis itu tidak bisa menahan cengirannya. Dia menyengir lebih lebar dari yang dia kira. "Hehe, mama peka juga ya."

"Bukan peka, waktu itu Max minta ijin ke mama."

"Ada salam dari Max, dia nggak mampir karena—" Audrey mengernyitkan keningnya. "Hah?"

"Dia bilang, dia juga minta ijin sama papa waktu itu."

"Terus papa bilang apa?"

"Papa bilang..." Maria mendecak kesal, lalu menggelengkan kepalanya. "Jangan itu dulu. Mama gak suruh kamu ngupas bawang karena Fio dari tadi diem terus di kamarnya. Kamu coba liat dia kenapa, mama panggil nggak keluar-keluar."

"Tapi mau makan, kan?" Audrey terdengar khawatir.

"Sedikit."

Gadis itu terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Aku liat Fio dulu, ya."

"Iya," Maria mempersilakan, lalu berkata kepada putrinya yang berjalan melaluinya, "Sebelum tidur mandi dulu biar seger, ya, Sayang."

"Berasa ngomong sama Max."

"Hah?"

"Hah?"

Diiringi kekehan ibunya, Audrey berjalan masuk ke dalam kamarnya.

Bayangan awal keadaan Fiona dalam pikirannya jauh lebih baik dibanding kenyataan yang terpapar di depan mata gadis itu.

Berhenti di ambang pintu, Audrey terpaku sesaat kala melihat sahabatnya sudah banjir air mata dengan sebuah buku di atas bantal yang dipangkunya, buku yang sedang ditorehkannya tulisan menggunakan pena yang digenggam di tangan kanannya.

Melihat itu, Audrey meletakkan tasnya di lantai kamar, lalu berkata gugup.

"K-kalo lo butuh waktu, kunci aja," ujarnya sambil berjalan mundur.

Fiona menggeleng, berusaha menahan suaranya agar tidak bergetar ketika menjawab, "Ini rumah lo."

Untuk beberapa saat, kamar itu hanya terisi oleh isakan lirih wanita hamil yang sedang terguncang hebat itu.

Hingga Audrey meraih kesadarannya kembali dan berujar, "Sori, gue nggak tau lo lagi kayak gini," sesalnya.

Perasaan terpukul mengisi relung hatinya cukup lama kala dia melihat kondisi sahabatnya yang begitu terpuruk. Tapi lalu, sebuah senyum yakin menghiasi wajah Audrey.

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang