41 - Beneran modus

120K 17.2K 4.9K
                                    

Seperti biasa, kegiatan Melva setelah bel pulang sekolah berbunyi adalah menunggu jemputan abangnya. Kalau biasanya dia hanya menunggu sepuluh menit, kali ini dia sudah menunggu hampir dua puluh menit. Melva mendengus kesal, abangnya lebih memilih mengantar gebetan barunya pulang daripada menjemputnya terlebih dahulu. Sudah jelas! Setelah pacaran nanti, pasti dia tidak diakui adik lagi.

Melva memandang langit yang sangat terik. Kalau begitu terus kulitnya bisa eksotis kaya bule-bule berjemur di pantai. Melva mendengus lagi, dia sudah bosan, tapi abangnya berjanji akan menjemputnya sepuluh menit lagi. Tidak perlu berbaik hati, pulang nanti dia pasti akan melaporkan aksi bejat abangnya itu dengan mama dan papanya.

Melva hampir terkekeh melihat orang yang sedang mengendarai motor dengan baju basket lengkap. Entah kurang waras atau apa, mungkin dia tidak takut kulitnya terbakar matahari. Tapi setelah orang itu berhenti tepat di depannya, saat itu juga Melva mengurungkan kekehannya. Apalagi setelah orang itu melepaskan helmnya, Melva jadi enggan tertawa. Kalau sekarang Melva yakin orang itu benar tidak waras.

"Hai Mel!" seru Dava sok akrab.

Melva tidak merespons, pura-pura melihat jalanan.

"Keren nggak baju basket gue? baju basket baru." ucap Dava sambil menyentuh baju bagian dadanya.

Pertanyaan tidak penting, Melva sampai menggeleng-geleng.

"Terus manfaatnya bagi gue apa?" ketus Melva.

"Sekarang kan lo jadi tahu kalau gue ini anak basket."

Melva menggeleng lagi. Dia sudah tidak tahan lagi kalau berlama-lama di sana dengan mantan yang tidak tahu malu. Rasanya ingin berteriak saja.

"Dari dulu gue juga tahu, lo anak basket!" kesal Melva.

Dava tercengir lebar.

"Lo nungguin siapa sih?" Dava bertanya lagi. 

"Nunggu seseorang yang bisa bawa gue pergi dari sini." Ketus Melva. Dava kembali tercengir.

"Kode ya, biar gue kasih tebengan," ucap Dava sangat pede.

Sudah cukup! Melva tidak akan merespont Dava lagi, kalau dijawab terus cowok itu pasti semakin mengoceh dan dia akan semakin lama melihat buaya berbadan manusia, dengan kepedean setinggi langit.

"Udah buru naik, gue anter pulang." Ucap Dava sambil memasang helm ke kepalanya. Melva tetap saja tidak merespont, sedang melakukan aksi jual mahal.

"Udah cepat nggak usah gengsi," oceh Dava lagi.

Melva menggeleng, tanda penolakan. Sudah dua kali dia ditolak, Dava memasang wajah tajamnya, sambil memainkan pedal gas motornya berkali-kali. Hingga mengeluarkan suara seram, seperti adegan-adegan pembalam yang tidak jadi. Melva yang melihat mendadak takut, apalagi hanya mereka berdua yang berada di sana. Bisa-bisa Dava melakukan kekerasan. Sebelum itu terjadi Melva mengambil ancang-ancang untuk lari. Belum dia melakukan nya, Dava sudah melesat dengan motornya. Cowok itu pergi begitu saja tanpa berpamitan atau mengatakan apapun.

Melva sampai terbelalak melihatnya. Baru kali ini kepalanya mulai berpikir, 'kenapa dulu dia bisa suka sama cowok seperti itu? lebih lagi sempat tidak bisa move on.'

***

Sorry ya Mel, tadi gue baru sadar minyak bensin gue lagi seret. Nggak jadi deh gue anterin lo

DestinWhere stories live. Discover now