Audrey mengangguk lemah.

"Kalau ada apa-apa, telepon aja," pesannya.

Demi apapun, Audrey bersyukur karena sejak semalam, ibunya tidak menagih hutang ceritanya tentang mundurnya Audrey dari kafe prostitusi terselubung itu.

Gadis itu sebenarnya mau melaporkan kafe Tuls sejak minggu lalu, tapi beberapa temannya membombardirnya dengan pesan singkat dan telepon untuk tidak menuntut kafe itu dengan alasan mereka tidak memiliki mata pencaharian—

"Permisi..."

Shit, rutuk Audrey dalam hati kala mendengar seseorang mengetuk pintu rumahnya.

Gadis itu bangun dari ranjangnya berbalutkan sweater tebal rajutan ibunya, celana piyama panjang, dan baju tidur lengan panjang, dengan rambut yang terurai acak-acakan.

Gadis itu berjalan sempoyongan hanya untuk menemukan...

"Max?" Audrey terkejut ketika akhirnya menemukan cowok itu berdiri di depan rumahnya. Gadis itu memegang kusen pintu sebagai tumpuannya berdiri. "Ngapain?"

Max terlihat sama terkejutnya melihat mantannya seberantakan dan setersiksa itu. "Lo sakit?"

"Lo mau ngapain?" tanya Audrey sambil bersandar di ambang pintu. "Jangan lama-lama, ya. Gue gak kuat."

"Oh, ini," ujar Max kagok dengan mata yang tidak pernah terlepas dari gadis itu. "Gue mau ngasih titipan dari sekolah."

Audrey mengambil amplop itu tanpa ingin tahu apa isinya. "Makasih."

"Lo pindah rumah sejak kapan?" tanya cowok itu tanpa membalas ucapan terima kasih tadi. "Kok gak kasih tau gue?"

"Udah lama. Gue kan gak percaya sama lo," ujar Audrey, memilih untuk menjadi jahat dan memendam, daripada harus menjelaskan semuanya. "Lo udah sehat, ya? Syukurlah."

"Iya, thanks, ya," ujar Max tulus. "Lo mau gue bantu?"

Audrey menggeleng, lalu berdiri tegak dari sandarannya tadi. "Thanks, Max, gue..."

"Drey?"

Reflek, Max mengambil satu langkah maju.

Audrey menahan Max dengan isyarat tangannya. "T-tenang aja, gue..."

Kelemahan tubuhnya benar-benar membuat Audrey kerepotan, karena tubuhnya menjadi sangat lemah, tatapannya tidak fokus, dan seakan tidak ada tulang yang bisa menyangganya berdiri.

Lalu, Max benar-benar maju, menyisakan jarak selangkah di hadapan gadis itu ketika Audrey mulai limbung.

Gadis itu sesaat menumpukan tangannya di pundak cowok di hadapannya sebelum benar-benar jatuh ke dalam pelukannya.

***

Audrey tertidur layaknya seorang bayi.

Empat jam lamanya gadis itu terlelap dan terbangun hanya untuk merasa bersalah karena telah menelantarkan Stephanie yang memiliki minggu krusial berisi Ujian Tengah Semester di minggu itu.

Untungnya, panas tubuhnya sudah menurun. Bahkan, kini keringat membanjirinya. Walau demikian, dia tetap merasa lemah untuk menjadi Audrey yang seperti biasanya.

"Ma?" panggil Audrey sambil berusaha duduk, namun, yang datang malah cowok itu.

"Max, lo masih di sini?" tanyanya tidak menyangka. "Lo berapa jam...."

Kalimat Audrey tergantung kala Max meletakkan nampan berisi makanan di atas pangkuan gadis itu, lalu duduk di hadapannya, di dekatnya, hanya untuk memegang keningnya dan mengecek suhu tubuhnya.

"Udah enakan?" tanya Max.

"Lumayan," ujar Audrey.

Gadis itu sebenarnya sedikit heran karena cowok di hadapannya bertingkah agak aneh.

Max tidak bisa fokus menatapnya, dan bibirnya seakan ingin mengatakan sesuatu entah apa.

Ternyata, satu tahun hubungan mereka memberikan Audrey banyak clue tentang beberapa hal.

"Max?"

"Itu!" seru cowok itu, mengejutkan baik Audrey maupun dirinya sendiri. "Itu... mmm, gue mau minta maaf karena t-tadi gue..."

Audrey yang menatap cowok itu dengan tatapan menyelidik sungguh membuat Max kewalahan.

"Lo...?"

"G-gue...." Max menghela napas panjang. "Gue tadi olesin perut lo pake minyak soalnya nyokap gue bilang, kasih minyak biar panas terus lo tambah keringetan."

Mau tidak mau, pipi gadis itu bersemu merah. Saking malunya, Audrey menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan selama beberapa detik.

Gadis itu menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinganya.

"Y-ya udah, makasih."

Max mengangguk kagok. "Tante Maria tadi telepon ke hape lo, gue yang angkat. Katanya, mama lo ada urusan, jadi pulangnya sore. Lo gak dibolehin ke luar rumah dulu."

"Terus, kenapa lo gak pulang?" tanya Audrey bingung.

"Sama alasannya sama alasan lo yang gak pulang dari rumah gue kemaren malem."

Audrey tidak tahu harus menjawab apa, jadi, gadis itu hanya tersenyum. "Maaf, ya, hari ini gue gak bisa ngelesin adek lo."

Max menggeleng. "Justru, lo jangan keseringan ke sana, ntar dia malah keenakan."

Audrey tertawa kecil. Baru saja dia akan membalas, namun sesuatu yang lebih memiliki urgensi mendesaknya untuk tersenyuman antusias kala membahas topik: "Lo mau ikut ke pertandingan caturnya Stephanie hari Sabtu depan?"

"Liat nanti deh," ujar Max. "Minggu depan ada PORAS."

"Oh, abis pekan UTS, ya?" tanya Audrey.

Sesuai ingatannya, PORAS alias Pekan Olahraga Antar Sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan, dilaksanakan setahun sekali setelah pekan Ujian Tengah Semester bagi kelas 10 & 11, dan pekan pra UN bagi kelas 12.

"Kalo gak kecapekan, kayaknya gue ikut."

Audrey mengangguk paham. "Semoga lo gak kecapekan deh. Lo gak tau seberapa besar adek lo mengharapkan kedatangan lo."

Max mendengus.

"Eh, lo bisa pulang sekarang, kok!" seru Audrey, mengingat hari sudah petang, dan, "adek lo kasian sendiri di rumah."

"Lo nggak pa-pa gue tinggal?" Pertanyaan barusan terdengar ambigu bagi mereka berdua.

Gadis itu tersenyum. "Baru nanya sekarang?" tanyanya dengan konotasi yang hanya keduanya mengerti.

"Serius nggak pa-pa?" tanya Max, entah pertanyaan untuk saat ini atau tiga bulan lalu.

Audrey mengangguk. "Nggak pa-pa."

***
To God be the glory,
nvst.
2.11.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang