Jadi, ya, Max kesal.

"Hai, Mek, lagi apa sama Pio?"

Max menggeram kesal. Tapi, dia tahu, dia harus sopan kepada orang tua, jadi, "Eh, Pak. Ini, lagi bantuin Fio ngerjain fisika."

"Oh, coba mana bapak liat," ujar Pak Yoyok, menjulurkan kepalanya untuk menengok hasil pekerjaan Fiona. "Oh, masih nomor satu, ya."

"Ahah." Fio menggaruk tengkuknya. "Iya, nih, Pak. Abis nomor satu, nomor dua."

"Abis itu nomor tiga, ya?" tanya Pak Yoyok.

"Iya, abis tiga, empat."

"Sampe nomor berapa?" tanya Pak Yoyok, berusaha tidak melanjutkan hitungan mereka.

"Lima doang," jawab Fio sambil membolak-balik kertasnya.

"Beranak-cucu, ya?" tanta Pak Yoyok, merujuk pada subsoal dan sub subsoal yang dimiliki setiap soal.

Fio mengangguk.

Pak Yoyok nyengir. "Ya udah, nih Mek pasti bisa ngajarin."

"Iya, saya udah ngerti, kok." Fio tersenyum. "Tadi udah diajarin sama Max pake s."

"Siplah." Pak Yoyok menepuk pundak Max yang sudah sibuk dengan ponselnya lagi. "Bapak pulang duluan, ya. Tadi ke sini mau beli roti buat cucu bapak, tapi cenah gak jadi."

Max mengangguk. "Tiati, Pak."

"Hati-hati, Pak," pesan Fiona lebih sopan.

Pak Yoyok mengangguk. "Kalian juga, ya. Jangan pacaran terus. Dah, Mek, Pio!"

Max menghela napas lega ketika akhirnya Pak Yoyok benar-benar menghilang dari pandangan.

Tapi, seakan tidak bisa membaca situasi, Fio malah tertawa lepas. Sangat keras dan puas.

"Aduh, Max, sedih ya!" gadis itu tertawa sambil memukul-mukul meja.

Audrey datang dengan roti, minuman, dan kartu debit di tangannya. Tidak lupa kernyitan yang menghiasi keningnya.

"Waddup?" tanyanya.

"Tau tuh, Fio," ujar Max kesal, "orang gila."

Audrey mengembalikan kartu debit Max. "Thanks, Babe." yang dijawab cowok itu dengan anggukan.

Lalu, cewek yang masih kebingungan itu duduk di kursinya, meletakkan seluruh belanjaannya di sana. "Kenapa sih, Fi?"

Fiona mengelap sudut matanya yang berair saking gelinya dia tertawa. Dia tahu Max kesal, jadi cewek itu tidak menceritakan semuanya, "Nggak, nggak pa-pa. Cuma ada meme aja di insta."

"Gak percaya, gue."

"Beneran!"

"Demi apa?"

"Demi lo sama Max putus minggu depan."

"Jir," umpat Audrey dan Max bersamaan.

"Iya deh iya," kata Audrey akhirnya, "gimana lo aja."

Fio meringis, mengelap sudut matanya lagi. "Thanks, ya, Max," katanya, lalu meminum minumannya. Tidak lama kemudian, kembali dia mengerjakan tugasnya, sesekali dengan bantuan Max yang masih sibuk bermain game COC dan berperang di sana bersama teman satu klannya.

Audrey baru saja akan menyelesaikan tugas ekonominya ketika sebuah telepon masuk ke ponselnya.

Mama is calling....

Audrey memberi kode kepada kedua lainnya untuk mengangkat telepon, lalu beranjak menjauhi keduanya.

"Kenapa, Ma?"

"..."

"Masih sakit? Aku bawain makanan ya dari sekolah."

"..."

"Oh, mama masak?" tanya Audrey kepada dirinya sendiri, bingung mengapa ibunya yang sakit bisa masak sendiri.

"..."

Audrey menghela napas pelan. "Ya udah, iya. Aku pulang sekarang," katanya, "mama mau dibawain apa?"

"...??!!?."

Audrey menjauhkan ponselnya dari telinganya. Astaga. "Iya, Ma, iya! Aku matiin, ya?"

"....!!!!."

"Iya, ini Audrey PULANG SEKARANG!" tekan Audrey. "Dah."

Audrey berbalik, kembali ke meja mereka dan membereskan barang-barangnya.

"Gue pulang duluan, ya, Guys."

"Kenapa, Tha?" tanya Max, mengangkat wajahnya dari ponselnya. "Dicariin Tante Maria?"

"Iya," jawab Audrey. "Mama lagi sakit, jadi gue harus ke rumah, beberes." Gadis itu menghela napas lelah. "Lo berdua tau sendiri, mama gue kayak gimana," katanya, merujuk pada ibunya yang perfeksionis dan pembenci ketidakteraturan barang sedikit pun.

"Ya udah, kita pulang aja, ya," ujar Fio.

"Nggak usah," tolak Audrey langsung. "Lo belum selesai, kan?"

Fio terdiam sejenak, menatap kertas-kertasnya. "Ya belum, sih, tapi-"

"Beresin aja dulu," katanya. Lalu, kepada Max, "lo pulang sama Fio, ya, Max?"

"Terus lo?" tanya Max.

"Gampang," jawabnya. "Duluan, ya!" pamit Audrey, menyandang ranselnya, dan segera berlari keluar dari sana.

***

to God be the glory,
nvst.

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang