"Tidak usah, sampai sini saja. Kau sudah banyak membantu." Aku menahan tangannya yang hendak membawa dua buah koper melalui tangga. Ngomong-ngomong, aku heran mengapa pemilik apartemen ini masih saja belum memperbaiki ­lift-nya. Seingatku selama hampir dua tahun aku tinggal disini, aku sudah pernah terjebak di dalam lift sebanyak dua kali.

"Seharusnya kau bersyukur aku mau membantumu."

Aku diam membiarkannya. Harry pun kembali mengangkat koper bibi Debs hingga ke lantai tiga dengan kedua tangannya yang berotot itu. Bayangkan betapa lelahnya ia sekarang. Sontak, setelah aku menaruh dua kantung paper bag miliki bibi di ruang tv, aku langsung mengambilkan sekaleng coke di lemari pendingin untuknya sebagai tanda terimakasih.

"Terimakasih sudah menolong."

Harry melirikku sebentar sebelum menerima coke di tanganku. "Aku curiga bibimu membawa potongan tubuh manusia ketimbang sayur-sayuran dari desa."

"Shushh! Sembarangan." Aku meninju pelan lengannya sambil terkekeh, dan untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, aku mendengar Harry tertawa bersamaku. Tentunya ini salah satu momen langka untuk bisa mendengar suara tawanya seperti sekarang.

"Oh, Jesus Christ. Melelahkan sekali untuk bisa sampai disini. Kenya, kau harus meminta pemilik apartemennya untuk segera memperbaiki lift-nya. Aku bisa kurus sepertimu jika setiap hari harus bolak-balik naik turun tangga."

"Ya, tentu. Aku akan menemui pemiliknya nanti." Aku memperhatikan bibi Debs yang langsung mengistirahatkan tubuhnya di sofa, terang saja ia datang dengan napas yang terengah-engah. Mungkin juga karena pengaruh tubuhnya yang semakin gemuk sehingga ia mudah kelelahan.

"Aku harus pergi sekarang." Harry menaruh kaleng coke-nya yang sudah kosong di atas meja makan sebelum membawa tangannya ke rambutnya yang sedikit basah oleh keringat.

"Hey, kau mau pergi kemana? Tidak bisa, kau harus disini untuk makan malam bersama kami. Kau sudah banyak membantu, Harry. Aku tidak akan membiarkanmu pergi, aku akan membuatkan sesuatu untukmu." Bibi Debs bangkit dari tempat duduknya dengan cepat, seakan tubuhnya bergerak secara otomatis ketika Harry berkata ia akan pergi.

Aku menahan gelak tawaku melihat tingkah laku bibi yang memang selalu baik pada setiap orang, tak terkecuali pada Harry meski ia tidak pernah memasang tampang yang ramah. "Aku harus pergi."

"Kenya, katakan padanya untuk tinggal." Ujar bibi Debs seraya membawa paper bag-nya ke dapur. Nada suaranya yang terkesan memaksa sontak membuatku menuruti ucapannya, meski sesungguhnya tanpa disuruh pun aku tetap akan menyuruh Harry untuk tetap disini.

"Tinggal lah untuk makan malam."

"Aku masih memiliki urusan di luar."

Gadis batinku langsung memasang tampang kusutnya. "Kumohon. Sebentar saja, setelah itu kau bisa pergi." entah ada angin dari mana tapi tiba-tiba saja aku meraih tangannya dan meremasnya lembut.

Bahkan Harry sempat menegang di tempatnya seakan-akan gerakanku yang terkesan spontan telah mengejutkannya. "Baiklah." Ia mendesah.

Aku tersenyum dan bergegas membantu bibi Debs di dapur, sementara Harry menunggu di ruang tengah sambil mengganti saluran tv berkali-kali. Dan seperti yang aku duga, bibi membawakanku banyak sayuran dan ia menceritakan soal paman Finn yang putranya akan menikah sebentar lagi. Dan oh, bibi juga membawakan beberapa potong roti dari tokonya.

"Dia sangat baik, aku menyukainya." Bisik bibi Debs di sebelahku dengan penuh antusias, membuatku tergelak singkat dan batinku langsung menyetujuinya. "Meski tattoo yang memenuhi lengannya  membuatku ngeri, tapi aku tahu kalau penampilan seseorang tidak bisa menjadi alat untuk mengukur pribadi seseorang. Oh ya, jadi, apa kalian satu kelas?"

CHANGED (sudah DITERBITKAN)Where stories live. Discover now