Chapter 24

226K 5.2K 1.1K
                                    

Buku ini telah diterbitkan, untuk yang ingin tahu cerita lengkapnya dapatkan bukunya segera di Gramedia. Buku dibagi menjadi dua bagian: CHANGED dan CHANGED Side B (sequel)

***

Siapa yang menyangka kalau aku dan Harry pergi ke kampus bersama pagi ini dengan motornya. Memang sepertinya tidak ada yang peduli, tapi aku senang akan kenyataan ini, mengingat aku lah orang yang kebetulan menaruh perasaan terhadapnya. Hampir 24 jam aku menghabiskan waktu dengan Harry, dan sekarang saat kami sudah tiba di dalam kelas pun Harry memilih tempat duduk di sebelahku.

Sepanjang pembelajaran aku berpikir apa yang sekiranya membuat Harry menjadi seperti ini. Kendati aku kesulitan membangunkannya pagi tadi dan ia mengamuk seperti seekor singa, tapi pada akhirnya ia mau mendengarkanku. Aku berhasil membujuknya untuk mandi dan pergi ke kampus.

"Dia tidak tahu apa yang sedang dia katakan." Harry bergumam di sebelahku, mengomentari ucapan Prof.Scotts mengenai Upton Sinclair yang menurutnya jenius.

Aku sendiri tidak terlalu banyak memahami karya-karya Upton Sinclair karena buku-bukunya sudah sulit untuk didapatkan, tapi sepertinya Harry tahu banyak. Mungkin karena Christian juga pengagum beratnya, walau pun terlihat bahwa Harry sendiri tidak begitu menyukai Sinclair.

"Mengapa kau berkata seperti itu?"

"Aku tidak suka karya klasik atau pun tragedi. Semuanya berisi omong kosong."

Aku tergelak, "Bagaimana mungkin kau tidak menyukainya? Lagi pula Sinclair bukan seorang penulis novel klasik. Ia menulis novel-novel realisme sosial."

"Itu tidak mengasah otakmu. Karya klasik dapat dibaca oleh semua kalangan, bahkan seorang balita dapat mengerti isinya. Dan ya, Sinclair memang penganut realisme, itu yang membuat karyanya tidak menarik, sama seperti tulisan klasik."

"Lalu apa yang kau sukai? Sherlock Holmes?" tanyaku asal.

"Itu salah satunya."

Oh, aku benar! "Apa ada yang lain?"

"Fichte... Hegel... mereka menulis karya-karya filsafat Jerman. Itu akan sangat menguras otak. Kau harus membaca buku-buku mereka jika kau memang mengaku cerdas."

Kedua alisku terangkat cepat, "Aku kurang menyukai filsafat."

"Aku juga, itu sebabnya mengapa aku pindah kemari."

"Oh?" Oke, ini mulai membingungkan. Harry baru saja berkata bahwa ia senang membaca karya-karya filsafat tetapi kemudian ia juga bilang bahwa ia tidak menyukai filsafat. Orang ini begitu sulit untuk ditebak jalan pikirannya.

"Filsafat bisa membuatmu gila dan kehilangan akal sehat. Dulu ada sekitar tiga atau empat orang di kelasku yang sekarang menjadi penganut Atheist..."

Oh, aku sudah sangat sering mendengar kasus seperti ini. Tapi filsafat bukanlah halku. Aku tidak terlalu banyak mengerti soal ini. "Tidak percaya akan Tuhan?"

Harry mengangkat sebelah alisnya, "Tapi bukan hal itu yang aku khawatirkan karena aku sendiri bukan seorang yang taat. Namun, dalam filsafat kau di dorong untuk berpikir rasional mengenai sebuah kejadian. Ketika kau memandang sesuatu, seakan semuanya begitu rumit untuk dijelaskan. Kau akan berusaha untuk mencari jawaban dari setiap takdir yang menggiringmu pada sesuatu, dan dalam masa pencarian itu lah kau cenderung kehilangan arah dan tidak tahu dimana ujungnya. Seperti mereka yang mencari kebenaran akan Tuhan, pada akhirnya mereka mengambil kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada."

"Filsafat sama halnya seperti meluruskan benang kusut, eh?"

"Seperti itu kira-kira. Banyak di antara mereka yang mulai mengubah paradigma dalam berpikir. Aku suka sesuatu yang mengasah otak, tapi filsafat terlalu berat. Mencari bukti-bukti nyata tidak semudah mencari jarum di tumpukan jerami."

CHANGED (sudah DITERBITKAN)Where stories live. Discover now