Chapter 2

367K 9.1K 524
                                    

Sudah pukul delapan pagi dan aku bergegas untuk pergi menuju kampus, salah satu rutinitas yang harus kulakukan setiap hari sebagai mahasiswi tingkat dua jurusan Sastra dan Literatur di NYU (New York University). Sejak dulu aku bercita-cita untuk menjadi seorang penulis, oleh karena itu aku menekuni bidang ini. Aku bahkan sedang membuat sebuah novel fiksi bergenre Romance. Tapi semenjak aku tidak memiliki banyak waktu karena kuliah, bekerja, dan mengurus adikku, novel yang sedang aku kerjakan pun terbengkalai.

Sialan, karena hanya aku satu-satunya orang yang adikku miliki saat ini. Bukannya aku merasa terbebani, tetapi terkadang aku memiliki konflik batin yang sangat besar semenjak aku dan Will (adik laki-lakiku) pindah ke New York. Ditambah lagi kami tidak tinggal bersama karena dia harus menetap di rumah sakit untuk menjalani perawatan dan kemoterapi. Dia mengidap leukimia. Penyakit sialan yang sama yang telah merenggut nyawa ibuku empat tahun yang lalu.

"Caramel macchiato," ujarku pada seorang kasir. Aku menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah kedai untuk sekadar mengisi perutku dengan sebuah donat dan kopi di pagi hari.

Setelah aku mendapatkan semua pesananku, aku langsung berangsur menaiki sebuah bus. Perjalanan dari apartemenku ke kampus tidaklah jauh. Hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit.

Kurasakan sesuatu bergetar di kantung mantelku di saat aku turun dari bus dan berjalan ke dalam kampus. Setelah kulihat nama yang tertera di layar ponselku, senyuman lebar langsung mengembang begitu saja.

"Hai, Ezra," sapaku di telepon. "Bagaimana kabarmu?"

"Kenya! Aku baik. Kau? Aku sangat merindukanmu, aku menyempatkan diri untuk menelepon sebelum jam praktekku dimulai. Kau sedang apa sekarang?"

Aku tergelak mendengar nada keantusiasan Ezra. Dia kekasihku. Kami sudah berpacaran selama empat tahun. Dia adalah seniorku di SMA dulu.

"Whoa, kau terdengar begitu bersemangat. Aku baik, Ez. Aku sedang dalam perjalanan menuju kelas."

Ezra terkekeh di sebrang teleponnya, "Aku hanya senang bisa mendengar suaramu lagi. Aku terlalu sibuk dengan pasien akhir-akhir ini. Aku jadi tidak ada waktu untuk menghubungimu, maafkan aku."

"Tidak apa, aku mengerti. Seorang calon dokter yang baik harus memprioritaskan pasiennya terlebih dahulu." Senyumku kembali mengembang. Salah satu alasan mengapa aku mencintai Ezra adalah karena ia begitu lembut, baik, dan berkarisma. Ia selalu tahu bagaimana caranya membuatku tersenyum. Ia juga memiliki masa depan yang cerah karena sebentar lagi ia akan lulus dari WSU dan menjadi seorang dokter yang sesungguhnya. Oleh karena itu ia sedang menjalani praktek selama tiga bulan di sebuah rumah sakit ternama di Washington.

"Well, kalau begitu sudah dulu. Aku tidak mau mengganggumu. Lagi pula aku juga sedang terburu-buru. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Aku mencintaimu, da-ah."

"Aku juga, da-ah."

Kakiku langsung melangkah memasuki kelas yang sudah agak penuh seraya memasukan ponselku kembali ke dalam mantel. Seperti biasa, setiap semester baru para mahasiswa justru bersemangat untuk masuk ke kelas. Terpaksa karena aku terlambat untuk menempati bangku paling depan, aku pun berangsur ke bangku yang tempatnya agak di belakang.

Aku menarik napas panjang dan menaruh buku catatanku di atas meja. Senyuman kembali mengembang di wajahku ketika kepalaku memutar perbincangan singkat di antara diriku dengan Ezra barusan. Memang kesibukannya sebagai mahasiswa kedokteran membuat kami tidak memiliki waktu untuk sering berkomunikasi, apalagi bertemu. Tapi aku menilai diriku tipe gadis yang pengertian. Aku akan dengan sabar menunggunya.

Hanya saja terkadang aku merasa takut. Takut jika suatu hari nanti Ezra tahu akan rahasiaku mengenai pekerjaan yang kumiliki. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika ia tahu bahwa aku seorang pelacur. Ia tidak boleh tahu. Tak seorang pun boleh tahu.

CHANGED (sudah DITERBITKAN)Where stories live. Discover now