Chapter 3

308K 7.8K 419
                                    

Aku terkesiap ketika Harry dengan kasarnya menarik lenganku untuk pergi menuju parkiran mobil. Genggamannya yang benar-benar kuat nyaris membuatku mengernyit kesakitan dan meringis. Dasar pria brengsek! Berani-beraninya ia memperlakukan wanita dengan kasar begini? Dimana sopan santunnya?!

Aku ingin menjerit padanya tapi aku bukan tipe gadis yang senang mencari perhatian. Terlalu banyak orang disini dan akan sangat memalukan jika aku bertingkah seperti seorang drama queen. Aku bukan tipe gadis seperti itu.

Tak lama, Harry pun menggiringku ke arah sebuah mobil Mercedes Benz berwarna hitam yang terparkir di bawah pohon. Sontak aku semakin bingung. Jika ia seorang yang kaya raya lalu mengapa kehilangan $100 menjadi masalah yang begitu besar baginya?

Atau jangan-jangan...

"Mengapa kau diam saja? Cepat masuk!" pekiknya seraya membuka pintu kemudi.

Aku pun melakukan hal yang sama dan berangsur masuk ke dalam mobil mewahnya. Meski mobilnya bukan seri keluaran terbaru tapi aku bisa menjamin bahwa mobilnya sangat mahal. Catnya saja begitu mulus dan mengkilat. Jujur, lagi-lagi aku merasa terintimidasi.

"Tunjukan jalannya." Ucap Harry ketus ketika kami sudah berada di luar daerah NYU.

"Setelah pertigaan lurus saja." aku menjawab dengan getir.

Jalanan di New York saat ini sangat ramai (meski memang selalu padat setiap harinya) dan Harry seperti orang yang tidak sabaran. Ia berkali-kali menghantam setirnya seperti orang frustasi. Serius, dia ini kenapa?

"Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat panik?"

Harry melirik padaku dari kaca spion, "Bukan urusanmu." Kemudian pandangannya kembali lagi ke jalanan. Tangannya masih mencengkram setirnya dengan erat. Aku bahkan bisa melihat urat-urat dan otot bisepnya yang membesar.

"Mengapa uang itu begitu penting untukmu?"

Kali ini Harry memalingkan wajahnya padaku. Tatapannya yang tajam membuatku diam tak berkutik. "Harus berapa kali aku berkata bahwa ini bukan urusanmu?! Bisakah kau berhenti bicara?!"

Aku menelan ludah. Berada di dalam tempat sesempit ini membuat telingaku sakit ketika mendengar sentakannya. Kurasa ia memang sudah tidak waras.

Maka kuputuskan untuk tidak berbicara lagi kecuali jika ia menanyakan kemana arah menuju apartemenku. Setibanya di tempat Harry langsung turun menyusulku dengan langkah yang terburu-buru. Ketika di dalam lift pun keadaan di antara kami menjadi semakin aneh dan kaku. Tak satu pun dari kami yang bersuara. Aku hanya bisa mendengar hembusan napasnya yang berat dan terkesan tidak sabaran.

Beberapa saat kemudian pintu lift pun terbuka. Aku langsung melangkah menuju pintu apartemenku di 405 sambil menyilangkan kedua jari telunjuk dan jari tengahku, berharap bahwa Jules sudah pulang mengingat semalam ia pergi berpesta dan hingga tadi pagi belum juga kembali.

Tepat setelah aku meraih kunci dari dalam tasku dan membuka pintu, kulihat Jules yang sedang duduk di sofa sambil menikmati sekantung keripik dan menonton TV. Tak lupa sekaleng bir juga tersedia di atas meja.

"Jules!" aku berseru penuh kelegaan.

"Kenya? Kau sudah pulang? Mengapa cepat sekali?"

Dengan segera aku berjalan menghampiri Jules, "Well, bukan begitu. Tapi akan kujelaskan nanti, yang jelas sekarang aku butuh bantuanmu." Ujarku cepat.

Jules pun mengerutkan keningnya keheranan, "Ada apa? Mengapa kau panik begitu? Apa terjadi sesuatu pada...—Harry?"

Harry?

CHANGED (sudah DITERBITKAN)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora