Setibanya di kampus, aku langsung berlalu menuju ruang kelas yang masih agak sepi. Sekitar lima belas menit menunggu, akhirnya aku melihat Harry hadir dengan membawa pena yang ia selipkan di lipatan leher kausnya. Sejenak aku menebak-nebak bukankah itu pena yang tempo lalu Harry pinjam secara paksa dari pria di sebelahnya?

Harry duduk di sebelahku. Ia menyenderkan punggungnya di senderan kursi dan membawa kedua tangannya ke belakang kepala. Aku mendengarnya menghela napas panjang. "Bagaimana kabarmu?"

Kabarku? Sejak kapan ia peduli dengan keadaanku? "Baik." Dustaku, jelas-jelas aku masih belum menemukan semangat hidup sejak semalam. Kuakui aku orang yang sensitif dan mudah membiarkan ucapan orang mempengaruhiku.

"Kau bisa tidur semalam?"

"Ya." Dustaku lagi.

"Aku tidak."

Oh! "Mengapa?" aku memutar tubuhku agar bisa melihatnya dengan lebih seksama. Astaga, dadanya yang bidang terlihat cukup jelas dari balutan kaus putihnya yang tipis. Kuperhatikan lengan kirinya juga sudah memiliki tattoo baru hingga aku nyaris tidak bisa melihat ruang kosong di kulitnya.

"Tidak perlu kau pikirkan."

Aku pun menutup mulutku rapat-rapat. Sebanyak apa pun aku ingin berbicara padanya, dan seberapa besar aku menaruh rasa ingin tahuku terhadapnya, aku tidak mau membahas kejadian semalam. Sentakkannya, omongannya, perilakunya, dan pengakuannya mengenai Sarah. Aku tidak mau lagi membiarkan hal-hal itu merasuki otakku kembali.

Ketika Mrs.Benneth masuk ke dalam ruang kelas hingga mengakhiri kuliahnya pun, aku masih diam dan enggan menanyakan banyak hal kepada Harry. Kami berhambur keluar disaat ruang kelas sudah mulai sepi. Harry berjalan di sebelahku, memberi perasaan aneh yang membuatku tidak ingin dia pergi.

"Kau tidak perlu memikirkannya lagi." Tiba-tiba saja Harry angkat bicara.

"Aku tahu. Aku sudah mengupayakannya."

"Teruslah upayakan, kau tidak boleh membiarkan ucapan orang merasuki kepalamu." Ia menghentikan langkahnya di hadapanku.

Aku mengangguk dua kali, "Ya, aku tahu."

"Aku serius."

Aku menatapnya lekat-lekat, memberikan pandangan 'mengapa?', tapi ia justru membuang muka dariku. "Kau bahkan berkata bahwa aku tidak ada bedanya dengan ibumu, mengapa sekarang kau berubah 180 derajat dan menyuruhku untuk melupakan kata-katamu yang menusuk?"

Harry memalingkan wajahnya lagi padaku, ekspresinya terlihat gugup dan itu justru membuatku kebingungan sekarang. Harry menarik napasnya dalam-dalam, "Aku peduli padamu."

Mataku membelalak. Oh, ya Tuhan... Ia mengakuinya. Gadis batinku menangis terharu dan tersenyum.

"Aku memikirkannya semalaman. Dan ya, kuakui aku peduli padamu."

"Mengapa?"

Harry memejamkan matanya dengan gemas, "Kumohon jangan tanyakan itu, aku sendiri masih belum menemukan jawabannya. Mengakui bahwa aku peduli padamu saja sudah begitu berat bagiku, jangan lagi tanyakan pertanyaan itu atau aku akan menarik kata-kataku kembali."

Aku menelan ludah. Mungkin ini pertama kalinya Harry mengungkapkan perasaannya secara jujur padaku—atau pada siapa pun. Kendati ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya bisa menaruh kepedulian terhadapku, tapi ia sudah mau mengakuinya saja sudah membuatku senang. Sangat senang. Mungkin ini berarti aku memiliki harapan.

"Harry!" seseorang berseru di kejauhan, membuat kami berdua memalingkan wajah dan seketika itu pula aku melihat Zayn dari gedung sebrang bersama beberapa orang lainnya seperti Mike dan Louis.

CHANGED (sudah DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang