CHAPTER 3 - Arrived

218 21 3
                                    

 Setelah kurang lebih 10 jam penerbangan yang cukup melelahkan dari Westminster, akhirnya aku tiba di New York. Kota terpadat di Amerika Serikat, dan pusat wilayah metropolitan New York yang merupakan salah satu wilayah metropolitan terpadat di dunia. Sebuah kota global terdepan, New York sudah pasti memberi pengaruh besar terhadap perdagangan, keuangan, media, budaya, seni, mode, riset, penelitian dan hiburan dunia. Tak heran New York menjadi salah satu destinasi favorit hampir setiap orang.

Keluar dari pintu kedatangan penumpang, aku berjalan perlahan mencari keberadaan Bradley. Ya, setelah aku memberitahunya bahwa aku akan datang ke New York, ia sangat bersedia untuk menjemputku di bandara. Hal tersebut membuatku semakin bersemangat untuk bertemu dirinya. Oh tapi dimana kau sekarang Brad? Kusapukan pandanganku ke seluruh penjuru tempat ini, tapi aku tak kunjung menemukan keberadaan Bradley. Kulirik jam tangan murahanku yang pernah kubeli di sebuah toko kelontong di pinggiran jalan. Jam 9 p.m. Dimana kau Brad?

Kusapukan kembali pandanganku ke seluruh penjuru tempat ini. Tatapanku seketika terhenti ketika melihat seorang pria berambut ikal brunette mengenakan kaus putih berlengan pendek dengan skinny jeans dan sebuah kaca mata hitam bertengger di hidungnya. Brad? Astaga, aku tak salah lihat. Aku yakin pasti itu Bradley.

"Bradley" Pekikku seketika. Pria yang ku panggil namanya-pun langsung mengalihkan pandangannya kearahku. Ia melepas kaca mata hitamnya secara perlahan. Sejenak ia nampak mengernyitkan dahinya.

Kulambaikan tanganku pada Bradley yang masih mematung memandangiku dari kejauhan. "Brad..." Serukku. Seketika ia tersenyum lebar ketika aku memanggilnya untuk yang kedua kalinya. Ia mulai melangkahkan kakinya dan nampak berjalan tergesa-gesa kearahku. Aku yang sudah tak sabarpun langsung berlari kearahnya.

Seketika kurasakan seolah-olah seluruh ingatan dan kenangan-kenanganku bersama Bradley kembali terulang begitu kurasakan pelukan hangatnya. Ya Tuhan, aku sungguh merindukan pria ini. Ia memelukku begitu sangat erat, begitupun denganku, pelukanku seolah-olah telah terkunci. Seolah-olah aku tak mau melepaskannya. Aku tak mau ia kembali jauh dariku.

Cukup lama kami masih hanyut dalam pelukkan kami dan belum ada salah satu di antara kami yang berucap. Hingga pada akhirnya masih di sela-sela pelukkan kami, aku mulai berucap. "Aku sungguh merindukanmu Brad" Ujarku lirih.

"Begitupun aku Summer, aku sangat sangat merindukanmu" Ucapnya yang masih belum juga melepas pelukkannya. Aku tersenyum setelah mendengar kalimat manisnya tersebut. Sedetik kemudian ia melepas pelukannya dan tersenyum manis padaku. "Well bagaimana kabar Westminster sekarang, kau tahu aku sangat merindukannya"

Aku terkekeh pelan mendengar ucapannya tersebut. "Kurasa masih sama seperti dulu Brad"

"Oh aku ingin sekali kembali ke Westminster walaupun hanya sekedar untuk berkunjung" Wajahnya berubah dan menampakan wajah sedihnya. Oh sungguh si ikal ini membuatku gemas.

"Kalau begitu kanapa kau tak kembali ke Westminster?"

Ia mengerucutkan bibirnya. "Ah akan kuberi tahu kau nanti. Sekarang ayo kita pergi dari sini. Aku sudah tak sabar untuk menunjukkan New York padamu"

"Benarkah? Baiklah kalau begitu ayo kita pergi" Ujarku sangat antusias.

Brad membantuku membawa salah satu koperku dan berjalan menuju parkiran.

Tiba di depan Maserati hitam yang kurasa itu milik Brad ia memasukkan kedua koperku ke bagasinya. Aku di buatnya terkejut ketika ia membukakan pintu mobilnya untukku. Aku merasa seolah-olah kupu-kupu yang berada di perutku ingin meledak dan terbang bebas. Ia memang sering memperlakukan seseorang dengan manis. Tapi entah mengapa aku selalu menganggapnya lebih.

Just You (Bradley Simpson)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang