CHAPTER 34 - Voices

25 3 0
                                    

Brad's POV

Kedua mataku menyaksikan seolah aku berada dalam pemutaran film lama. Menyaksikan diriku versi 15 tahun yang lalu. Meniup lilin dengan angka 11. Sumbu itu kemudian mengeluarkan asap begitu api itu kutiup. Menghilang di udara bersama harapan-harapan yang kupanjatkan dalam hati. Seseorang menarikku kedalalam pelukan. Hangat dan aman. Sentuhan ini terasa sangat nyata. Harum itu—Aku tidak pernah melupakannya. Aroma cendana manis yang menjadi ciri khasnya. Tetapi dengan tiba-tiba ia menarik diri dari pelukan kami. Tidak, tidak. Aku tidak mau ia pergi lagi.

Bersamaan dengan itu sosok pria paruh baya datang kepadaku. Seolah memberiku sedikit harapan. Ia membawa sebuah gitar akustik ditangannya, lantas memberikannya kepadaku dengan senyuman hangatnya. Kedua tanganku menerima benda itu tanpa perasaan ragu sedikitpun. Memberikan kecupan singkat di puncak kepalaku lantas duduk dihadapanku. Mom, Dad, dan Brenda memberikan tatapan seolah meyakinkanku untuk memainkan benda ini. Motivasi dalam diriku seketika naik dengan cepat layaknya kencangnya laju rollercoaster. Aku mencoba petikan pertama dan seterusnya hingga menciptakan nada sebuah lagu kesukaan Mom dan Dad. Mereka tersenyum padaku.

Sial. Jariku berdarah karena memetik terlalu kencang. Tiba-tiba sesuatu menarikku ke suatu tempat yang berbeda. Sangat cepat hingga aku sulit mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku membuka mataku lebar-lebar. Menyaksikan sebuah upacara pemakaman. Pemakaman siapa ini? Kenapa aku ada disini? Aku membeku ditempat, kedua mataku menangkap sesuatu yang tidak asing di penglihatanku—foto Mom dan Dad. Kedua lututku tidak kuat lagi menopang tubuhku. Sial, aku terjatuh dan seluruh tubuhku lemas. Brenda? Summer? Dimana kalian?! Seseorang tolong aku?! Aku ingin berlari merengkuh Mom dan Dad untuk yang terakhir kalinya, tetapi tubuhku menolak—lemas dan tidak bisa bergerak. Seseorang meraih tubuhku, membantuku untuk menopang tubuhku agar bisa berdiri tegak. Ia membalikkan tubuhku sehingga kini aku berhadapan dengannya. Tubuhnya yang semapai memaksaku untuk mendongak—mengintip dari balik bulu mataku, aku melihat sebuah wajah dengan guratan duka yang mendalam. Charlie mendekapku dengan sangat erat. Air mataku tumpah di dalam pelukannya. Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutku kecuali isakan menyedihkan ini.

Tubuhku tersentak—membuka mata dan berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Aku menyadari bahwa nafasku terengah-engah, tubuhku berkeringat, dan air mata sialan keluar dari mataku, membasahi bantal dan wajahku. Tanganku berusaha meraih sesuatu yang ada di sampingku, berharap aku mendapati Summer disampingku, tetapi aku tidak menemukan siapapun. Aku menyapukan pandanganku ke sekelilingku. Sial. Aku baru menyadari bahwa saat ini aku sedang di Pittsburgh. Tanganku meraih ponsel diatas nakas  yang sudah terisi penuh baterainya. Pukul 4:00 A.M. Sial, mimpi buruk itu lagi.

Tanpa pikir panjang aku menekan tombol panggil pada nomor Summer. Mengingat aku belum sempat mengabarinya ketika aku sampai di Pittsburgh.

"Halo." Terdengar suaranya dari sebrang telepon. Oh aku sangat merindukan suara itu.

"Hei."

"Brad? Ada apa? Kau sudah sampai di Pittsburgh?" Aku mendengar suara kekhawatirannya disana. Aku merasa bersalah karena tidak menghubunginya sejak tiba di hotel.

"Ya. Aku sudah berada di hotel 2 jam yang lalu. Maafkan aku baru bisa menghubungimu sekarang. Aku tertidur tadi."

"Tidak masalah Brad. Aku tahu kau pasti kelalahan."

"Ya. Perjalanan darat sangat memakan waktu. Hei, tidak biasanya kau sudah bangun pukul 4 pagi."

"Well, ponselku berbunyi dan ternyata kau yang menghubungiku. Jadi aku harus beranjak dari mimpiku." Ujarnya dibarengi dengan kekehannya yang menggemaskan, dan tanpa kusadari membuatku ikut terkekeh dengannya.

Just You (Bradley Simpson)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang