32 - Tunggu Saja (tamat)

5.2K 346 21
                                    

FADEL berlari menuju Dela yang masih terbujur di permukaan semen, lalu memeluk perempuan itu, menyelimutinya dengan segala kehangatannya.

Dela yang pipinya masih basah akibat air matanya tadi, kini beralih pandangannya ke arah tangan kanan Fadel, yang lelaki itu sembunyikan di balik tubuhnya.

Dela menarik tangan Fadel, melihat tangan tersebut untuk lebih detail.

Tak hanya tangan kanan, tangan kiri Fadel pun sebenarnya hancur, namun tak separah di kanan. Jam tangan di tangan kirinya malah sampai pecah, akibat hal gila tadi.

"Kenapa nangis, sih? Dasar bego ..." Fadel mengusap pipi Dela dengan punggung tangan kanannya, yang masih sedikit utuh.

"Kamu gak perlu lakuin ini untuk aku, Del." ujar Dela mempererat pelukannya.

Fadel tersenyum. "Kenapa?"

"Kamu bego!" makinya memukul dada Fadel dengan keras, namun tak terasa apa-apa bagi lelaki itu.

"Kamu itu ..." Fadel menggantungkan ucapannya, ketika mengecup kening Dela. "Terlalu penting buat aku."

"Aku harus jadi satu-satunya superhero kamu."

🌹

MEI menghempaskan tubuhnya di sebelah Toni, membuat lelaki itu yang semulanya terpejam, menjadi membuka matanya kembali dan melirik ke samping.

"Eh, udah bangun?" Toni terkekeh kecil.

Memang, mereka, Toni, Mei dan Romi menginap di rumah Dela semalam.

"Udah." jawab Mei dengan nada yang jelas melukigkan kesebalannya.

Toni mengernyitkan dahi, "Kenapa, Mei?"

Mei mengangkat bahu. Tampaknya, mood gadis itu sedang tak bagus hari ini.

Toni hanya mengangkat bahunya tak mau tau, lalu beranjak dari sofa tersebut. "Padahal aku mau bilang kalau aku sayang kamu."

Mei membelalakkan matanya. "A-apa tadi?"

Toni hanya menyeringai, sambil menaikkan bahunya.

"Toniiii!" teriak Mei menarik-narik tangan Toni, meminta permintaannya dikabulkan.

🌹

"IYA, Bang, maaf. Cinta yang kasih tau semuanya ke Om Aldo. Mulai dari Bang Romi yang suka ke Kak Dela, pokoknya semua."

Fadel hanya tersenyum samar, ketika mendengar kejujuran yang baru saja keluar dari mulut Cinta.

Mei apa lagi, sungguh merasa malu dengan kelakuan adik sepupunya itu.

"Kamu ..." Mei mengepalkan tangannya, penuh emosi. "Udah kakak peringatin jangan lakuin apa-apa!" bentak Mei membuat Cinta menunduk.

Tubuh Mei panas-dingin, ingin segera menampar adik kesayangannya itu, kalau saja bukan adiknya. Dia malu, sangat malu. Adiknya menjadi seorang perusak hubungan Fadel dan Dela? Apa lagi, Fadel dan Dela hampir sampai mati di tangan Aldo karenanya.

"Maafkan Cinta ..." Cinta menggenggam tangan Dela yang masih mendingin karena tak percaya bahwa orang di balik semuanya ternyata adalah orang yang dekat dengannya, Cinta.

"Gak papa." jawab Dela berusaha mengukir senyum, lalu menarik tangan Cinta untuk jatuh ke pelukannya.

Cinta menangis sejadinya, dan Dela hanya bisa menenangkannya dengan mengusap-usap rambutnya.

Melihat itu, Fadel tersenyum.

🌹

"SALAH sendiri, jadi orang kok nekat banget," kata Dela sambil melilitkan perban ke tangan Fadel yang terluka parah sekali.

Fadel hanya tersenyum sambil terus memandang ke arah Dela yang sibuk mengobati tangannya.

"Mei sama Toni udah jadian, loh." Fadel tertawa ketika mengucapkan itu.

"Serius?"

"Iya. Makanya, tadi nempel terus, kan?"

Dela tertawa.

"Del?" Dela memandang ke arah suara, yang pas di hadapannya.

"Hm?" Dela kembali ke posisi semula, usai selesai mengobati tangan Fadel.

"Tangan aku gak sakit sih, sebenarnya," Fadel berdeham.

Dela memicingkan matanya ke Fadel, lalu menatapnya lekat-lekat.

"Apa sih gitu banget liatnya? Ku cium nanti." ujar Fadel menyeringai, membuat Dela cepat-cepat kembali ke posisi awal.

Fadel tertawa.

"Apanya yang gak sakit, udah hancur begini?" Dela memegang tangan kanan Fadel, bermaksud menunjukkan seberapa parah luka yang lelaki itu alami, jika dia belum sadar.

"Semuanya gak sakit," Fadel menggenggam tangan Dela yang semula memegang tangannya. "Semuanya akan lebih sakit kalau aku terlambat nolong kamu waktu itu."

Dela terdiam.

"Kenapa diam gitu? Pengen peluk, ya?" Fadel menyeringai sambil melebarkan tangannya, agar gadis itu segera masuk ke pelukannya.

Tanpa bicara apa-apa, Dela segera beranjak dari posisinya dan jatuh ke pelukan Fadel.

"Makasih ya, Del." Dela mempererat pelukannya.

"Untuk apa?"

"Untuk semuanya."

"Gak perlu berterima kasih," Fadel mendorong pelan kepala Dela dengan tangannya, untuk bersandar di dadanya. "Itu tugas aku."

Dela tersenyum.

"Karena aku tau, aku gakkan pindah lain hati," Fadel mempererat pelukannya yang semula merenggang. "Makanya, aku gak takut mati waktu itu, buat nolong kamu."

"Tunggu aja lamaran aku waktu kita berumur 25 tahun, ya." Fadel tertawa.

"Emangnya hubungan kita bisa selama itu?" tanya Dela dengan nada meremehkan, mendapat jentikan di kening oleh Fadel.

"Bunda ayah aku malahan pacaran dari SMP, loh," Ada jeda. "Tapi, mereka emang sama-sama setia. Dan ... kesetiaannya itu nurun ke aku."

Dela tertawa.

"Aku akan tunggu."

Iya, tunggu saja, batin Fadel.

---------------------------------------


Fadela,
Desember 2017,
end.

FADELATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang