21 - Pernyataan

3.6K 297 7
                                    

Fadel sedari tadi terus berjalan mondar-mandir dengan gelisah membuat Om Edo yang melihatnya pun jadi ikut gelisah. Sesekali Fadel melirik arloji yang melingkar di tangannya. Pukul 20.00 WIB. Hah, Hokkaido ini dingin. Kenapa Dela pergi selama ini? Dia gak dingin di luar sana? Padahal tadi dia cuma izin buat nyari udara segar untuk menenangkan pikiran.

Karena rasanya sudah terlalu lama bergelut dengan pikiran, akhirnya Fadel memasang mantelnya dan mengambil kunci mobil yang kemarin Om Edo sewa. Kemana lagi gadis itu? Jangan bilang dia pergi sama seperti waktu itu.

(Kalau tak tahu, baca part 5)

Om Edo yang tadinya duduk di sofa, kini ikut bangkit setelah melihat Fadel yang mulai ambil tindakan. "Mau ke mana kamu Del?" tanya Om Edo ikut mengambil mantelnya.

"Cari Dela," singkat Fadel. Om Edo terdiam sejenak lalu menangguk.

"Om ikut!"

Setelah selesai soal mantel dan yang lainnya, akhirnya mereka mencari Dela dengan mobil yang di kendarai oleh Fadel, sedangkan Om Edo yang memegang GPS. Untung handphone Dela masih hidup, jadi masih bisa di lacak.

Dia ada di stasiun kereta api? Apa yang dia lakukan di sana?

Tidak, jika dia di sana pastinya tujuannya hanya satu; pergi dengan kereta api. Tapi, ingin ke mana dia? Ah, kepala Fadel sungguh ingin pecah memikirkan itu semua sendiri.

"Tolong jangan pergi," gumam Fadel sambil memijit kepalanya yang pusing. Mobil ini melaju dengan kecepatan yang cukup mendekati kata maksimal menuju stasiun kereta api tersebut.

"Kita sampai," ucap Om Edo. "Kamu yang cari Dela."

Fadel mengernyitkan dahinya. "Kenapa Om gak ikut?"

"Feeling Om bilang, kalau kamu harus bujuk dia sendiri. Ayo, cepat!" suruh Om Edo.

Fadel segera membuka sabuk pengaman lalu keluar dari mobil. Berlari mencari Dela, menelusuri di mana kini gadis itu berada. Suhu di sini begit dingin, mantel saja tak cukup membendung suhu membekukan ini.

"Dela..." gumam Fadel ketika melihat Dela yang tengah berdiri di seberangnya. Di tengah-tengah mereka berdua ada rel kereta api. Dela juga menatap Fadel dengan sebuah pandangan yang tak bisa Fadel mengerti apa itu.

"Fadel," gumam Dela. Fadel dapat membaca gerakan bibirnya walau tak mendengar suaranya. "Maaf."

"Maaf? Untuk apa?!" teriak Fadel. Orang-orang yang ramai berlalu-lalang tak memperhatikan mereka. Lagipula, siapa yang mengerti bahasa mereka?

"Semuanya benci sama aku," jawabnya. Fadel dapat melihat air mata Dela jatuh. Ah, Fadel benar-benar benci ketika air mata itu jatuh.

"Siapa? Siapa yang benci sama kamu?"

"Semua orang. Aku mau pergi!" teriaknya.

Kereta api berteriak, mengisyaratkan bahwa sebentar lagi penumpang akan segera berangkat.

"Nggak Dela, kamu gak akan pergi kan? Nggak, kamu bercanda!" teriak Fadel. Ia benar-benar ingin melewati rel itu, tapi nanti masalahnya akan bertambah besar jika Dela tambah pergi menjauh dari sini. "Kalau kamu pergi, aku harus nyari kamu ke mana?!" teriak Fadel lagi.

Dela melambaikan tangannya dengan pelan.

Kereta api tersebut mulai berjalan menutupi tubuh Dela dari pandangan Fadel. Mungkin, Dela sudah memasuki kereta api tersebut.

"Aku gak benci ke kamu! Gak ada orang yang membenci kamu, semuanya sayang ke kamu. Kumohon, jangan pergi!" teriak Fadel sekuat tenaga. Urat yang bermunculan di samping lehernya cukup sebagai penanda bagaimana keras suaranya, dan bagaimana takutnya dirinya.

"Dela..." Fadel menggantungkan kata-katanya. Ia menghela napas.

"Aku sayang kamu. Jangan pergi, kumohon. Kalau kamu juga membalas rasa sayangku, tolong jangan naik. Tolong jangan pergi tanpa jejak!" teriak Fadel lagi. Kali ini lebih keras. "Kamu yang ngajarin aku caranya ngerasain ini. KUMOHON JANGAN PERGI!"

Kereta api tersebut akhirnya melaju, membuat rambut Fadel berayun di tiup angin akibat lalunya kereta api tersebut. Fadel menghalang angin tersebut dengan tangannya dan menutup matanya.

"Tolong jangan pergi." Fadel perlahan membuka matanya.

Fadel terdiam mematung. Tak percaya. Tak ada siapa-siapa di seberangnya. Dela tega meninggalkannya? Tidakkah Dela kasihan dengan segala permohonannya? Dan kenapa Dela pergi saat rasa cintanya sudah tumbuh begitu tingginya?

Fadel terus terdiam sambil menghembuskan napasnya ke atas. Memejamkan matanya. Rasanya, detik kini begitu dingin dari beberapa detik sebelum dia mengetahui bahwa Dela telah pergi tanpa tujuan itu.

"Fadel."

Fadel menoleh dengan cepat ke arah suara. Apa ini? Ilusinasinya? Mengapa semuanya terasa tak nyambung?

"Dela," ujar Fadel memastikan. Dela mengangguk.

Fadel melebarkan tangannya mengisyaratkan agar Dela berlari untuk menabrak tubuhnya.

Dela segera berlari dengan rambut panjangnya yang berayun-ayun oleh angin lalu memeluk Fadel.

"Kamu... gak pergi, kan?" tanya Fadel di balas dengan gelengam oleh Dela.

"Sukidayo." 

*

FADELAWhere stories live. Discover now