6 - Demam. Hujan. Pertanyaan.

7.6K 420 30
                                    

HUJAN turun lagi pagi ini, dan bahkan jauh lebih deras dari hari-hari sebelumnya. Memang, bulan ini tampaknya sedang ada musim penghujan.

Orang-orang bilang, musim penghujan itu bisa disebut sebagai musim yang romantis. Pemekaran kenangan-kenangan lama yang baik dan buruk, pemutaran memori, tumbuhnya benih cinta baru, bahkan mungkin suatu kesempatan bagi sepasang kekasih untuk berlindung di bawah sebuah payung. Hm, romantis, kan?

Dela hanya duduk diam memperhatikan rintik-rintik yang memantul ke permukaan bumi. Sepatunya pun sedikit basah terkena percikan pantulan air hujan. Padahal Dela sedang duduk di teras, namun pantulan tersebut masih dapat menjangkaunya.

Bukan, Dela bukannya memperhatikan rintik-rintik hujan. Melainkan, gadia tersebut sedang bermenung di sela keributan dan kegemuruhan hujan guntur di luar sini. Matanya bengkak karena menangis semalaman dan wajahnya pucat karena kurang tidur. Ia pun masih belum bertegur sapa dengan Fadel sejak kejadian itu.

Hh, gara-gara pernyataan bego yang Fadel lontarkan semalam, suasana di antara mereka berdua menjadi canggung. Mereka pun sama-sama sulit mencari cara agar tak canggung mengenai semalam.

"Derasnya..." gumam Fadel mengoles selai ke roti seraya melirik ke kaca jendela yang penuh digeliati oleh air hujan. Ia pun sesekali menengok kearah pintu depan yang terbuka lebar, sedang apa Dela di sana. "Bodo. Lagian apa yang harus dicanggungi?" lanjut Fadel lagi menyuap setangkup roti yang di pegangannya.

Kalau hujan begini, pasti sekolah jadi banjir. Bukan, bukan atap yang jadi penyebab. Tapi angin, yang biasanya menghembuskan air hujan ke kelas, apalagi jendela kelas tak pernah ditutup.

"Apa bolos aja, ya?" gumam Fadel menggaruk kepalanya.

"Masih lama?" tanya Dela duduk di kursi sebelah Fadel.

"Gak. Maaf buat kamu nunggu," jawab Fadel menatap lurus kedepan. Ah, kenapa dia jadi tak berani menoleh ke arah Dela?

"Alah, biasa aja, lah." kekeh Dela dengan paksa. Fadel tau, kalau Dela masih sedih dan bimbang mengenai kedatangan mamanya tiga hari lagi. Siapa yang tak sedih, kalau seorang ibu cuma datang berkunjung setelah sekian lama dengan tujuan utama mengambil file, bukan mengunjungi anaknya? Sedihlah, pastinya.

Apalagi, Dela tak punya siapa-siapa. Selain itu, mereka tak bertegur sapa melalui SMS, chatting di socmed, ataupun telepon.

"Gak sarapan?" tanya Fadel. Dela menggeleng sembari menopang dagunya. Fadel hanya meng'O'kan ucapan Dela, sambil mengangguk-angguk.

"Kita pasti terlambat," gumam Dela melirik jam tangannya. Fadel menyeringai.

"Takut?"

"Siapa yang takut?"

"Kenapa kamu gak minta antar Pak Carsuki aja? Dari kemarin kayaknya jalan kaki terus," kata Fadel bangkit dari duduknya untuk menuangkan air putih ke gelas kaca di hadapannya.

"Biasanya, aku minta Pak Carsuki anterin kalau mau pergi jauh. Kalau pergi ke sekolah doang, aku bisa jalan kaki." jawab Dela. Fadel tersenyum, namun memalingkan wajahnya agar tak dilihat oleh Dela.

Fadel meng'O'kan ucapan Dela. "Yuk, berangkat."

"Yaudah, aku minta Pak Carsuki antarin," ujar Dela bangkit dari duduknya lalu mulai melangkah menuju kamar Pak Carsuki di belakang.

"Gak usah!" sanggah Fadel menghentikan langkah Dela.

"Kamu gak takut hujanan?" tanya Dela mengernyitkan dahinya.

Fadel tersenyum ringan. "Kita gak ke sekolah, Dodol,"

Dela mengernyitkan dahinya. "Kalau gak ke sekolah, mau ke mana?"

FADELAWhere stories live. Discover now