Sepertinya ia memang habis mengadakan pesta dan ia terlalu malas untuk membersihkan tempatnya. Tapi lagi-lagi pikiranku bertanya apakah rumah ini memang rumahnya atau rumah milik bersama? Mengingat pintu yang terdapat di lantai dua cukup banyak.

"Apa ini frat house?"

"Ya." Jawabnya singkat sambil membuka pintu kamarnya yang berada di paling ujung. Seketika itu pula aku mendengar kegaduhan dari arah ruangan lain.

Sontak aku berbalik ke belakang dan kulihat seorang pria bertelanjang dada dan wanita berambut pirang muncul sambil bercumbu dengan ganasnya. Mataku mengerjap beberapa kali.

"Masuklah." Ujar Harry di belakangku.

Aku pun melangkah masuk ke dalam kamarnya yang luas. Karpet berwarna coklat susu terkapar menutupi seluruh lantai. Aku juga mendapati sebuah rak buku yang menghadap ke tempat tidurnya yang besar. Lalu sebuah meja dan lemari pakaian berada tepat di pojok ruangan yang menyambung dengan ruangan lain—yang jika boleh kutebak mungkin itu adalah kamar mandi.

Lagi, perutku kembali melilit ketika mendengar suara pintu di belakangku yang tertutup. Aku berbalik ke arah Harry yang tengah berdiri menyender di pintu dan menatapku. Apa kira-kira yang akan ia lakukan sekarang?

"Lakukan." tuturnya.

Aku menelan ludah. Aku tidak mau melakukan ini. Aku tidak mau memberikan tubuhku secara cuma-cuma, kecuali pada Ezra. Ya Tuhan, Ezra...

Aku tidak mungkin mengkhianatinya dengan cara seperti ini. Aku bukan gadis semacam itu!

"Aku tidak mau." ucapku dengan suara yang bergetar.

"Jangan buat aku mengulangi kata-kataku barusan. Buka bajumu atau kau akan menyesal, Kenny."

"Berhenti memanggilku Kenny." Ujarku nyaris memekik. Napasku berpacu cepat akibat adrenalin yang aku rasakan sekarang. Seharusnya ini mudah untuk dijalani, namun aku keburu takut padanya. Lagi, aku menelan ludah untuk membebaskan kerongkonganku yang tercekat. "Well, apa kau akan berjanji bahwa setelah ini kau tidak akan menuntut hal lain dariku?"

"Tergantung."

"Apa maksudmu?"

"Kita lihat saja nanti. Sekarang cepat buka pakaianmu."

Sial. Mengapa ia harus memaksaku dengan cara seperti ini? Apa ia sedang bermain-main denganku?

Aku berdehem, "Apa ini sebuah permainan?" suaraku kembali bergetar dan berubah pelan.

Namun, di detik itu juga kulihat rahang Harry menegang meski cahaya lampu di kamarnya cukup remang. Dan aku tahu ia pasti akan kembali menyentakku.

"Diam dan cepat lakukan apa yang kuperintahkan!"

Benar bukan?

Tak kuasa mendengar sentakannya lagi, akhirnya aku menaruh dompet kecil yang sedari tadi menggantung di bahuku ke karpet. Kedua tanganku berangsur membuka resleting di belakang punggungku dan melepasnya dengan perlahan. Aku tidak memakai bra, otomatis aku hanya menyisakan diriku sendiri dalam celana dalam berenda berwarna hitam dan high heels. Lalu aku mengapit kedua tanganku di balik ketiak untuk menutupi dadaku yang telanjang.

Harry masih menatapku. Kali ini bola matanya bergerak memperhatikanku dari atas hingga ke bawah.

Kini aku menunggunya yang masih saja berdiam diri. Entah mungkin ada yang salah dengan tubuhku hingga ia tidak bereaksi atau justru sebaliknya.

Hingga selang beberapa detik kemudian ia pun berjalan mendekat sampai jarak di antara kami hanya bersisa beberapa inci. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya yang menerpa kulit wajahku. Setelah itu kulihat kedua tangannya bergerak ke udara—yang satu memegang daguku, dan yang satu lagi menarik pinggulku ke arahnya.

CHANGED (sudah DITERBITKAN)Where stories live. Discover now