35. Si Paling Act of Service

835 121 1
                                    

Gue melihat wajah bantal Resti saat menjemputnya pagi harinya. Restu ada juga mengantarnya sambil membawakan koper. Keadaan Resti jelas-jelas masih mengantuk parah. Kelihatannya dia bukan tipe yang demen bangun pagi.

"Effort ya, Met." Restu berkomentar seraya mendorong koper kabin yang dibawa-bawanya beberapa saat lalu.

Gue hanya meringis.

Sesuai janji, inilah hal sederhana yang bisa gue lakukan. Walau gue praktis cuma tidur beberapa jam.

Buat pertama kali dalam hidup, gue kangen macet Jakarta kalau lagi peak hour. Itu lebih enak daripada nyetir pas Jakarta lengang dalam keadaan agak kurang tidur.

"Bawaan kamu ini aja?" gue memastikan kepada Resti yang berdiri di sebelah mobil.

Resti menguap seraya mengangguk. "Itu aja. Kayaknya nggak ada yang ketinggalan, sih. Semoga."

Lantas, gue memasukkan kopernya ke dalam jok belakang. Toh, nggak ada yang menumpang lagi.

"Hati-hati," pesan Restu seraya membukakan pintu di sebelah jok sopir buat Resti. "Pas lo balik, mungkin gue di Bali ya, Ti."

"Oke." Resti menjeda sejenak kemudian, "Adit..."

"Ya, Res?" Gue menoleh. Kelihatannya Resti sudah mendapati hadiah kecil yang gue bawakan buat dia.

Resti memandang gue dan jok mobil secara bergantian. "Ada barang di joknya... punya kamu?"

Otomatis, gue menggeleng.

"Sarapan buat kamu. Sebenarnya emang ini pagi banget, terus aku nggak tau kamu tipe yang bisa sarapan pagi-pagi buta atau nggak, tapi kubawain kalau kamu—"

"Buset! Full service banget, ya!" sindir Restu tiba-tiba. Kedua tangannya berkacak. "Lo mau jadi si paling act of service kayak yang di konten-konten Tiktok itu, ya?"

"Iri bilang, bos!" ledek Resti. Tawanya berderai.

Sounds of an angel. Sumpah, nyanyian malaikat aja kalah dari tawa merdunya Resti yang gue kangenin.

"Bawel," decak Restu kesal. "Kenapa nggak lo sekalian beli buat gue deh, Met?"

"Ada juga." Gue buru-buru menghampiri Resti. "Permisi, ya. Aku mau ambil punya kakak kamu dulu."

Mata Restu membola saat gue menyodorkan sebuah paperbag padanya. "Tadi gue bilang ke Mbaknya buat nggak panasin punya lo, sih. Jadi entar lo panasin aja sendiri."

"Sering-sering ya, Met. Thanks!" Restu menyeringai. Puas.

"Udah, ah. Ayo, nanti aku telat!" seru Resti mengibas-ngibaskan tangan dengan tak sabar.

Gue tertawa. "Yes, Ma'am."

Sementara Resti pamitan dengan kakaknya, gue pilih memasuki mobil dan menyalakan mesin. Dia menyusul tak lama. Sembari memangku kejutan kecil yang gue belikan, tangan Resti menarik seatbelt lalu kembali melambaikan tangan kepada Restu.

Gue melajukan mobil menuju tol bandara. Sesekali mengecek Resti yang diam-diam saja di jok sebelah.

"Aku bawain kamu bantal leher di jok belakang. Kalau mau pake, ambil aja. Lumayan, bisa tidur. Entar aku bangunin pas nyampe," kata gue.

"Kamu bener-bener serius mau buktiin ucapan kamu, ya?" Resti meraih bantal leher dari belakang. "Wih, empuk. Kamu beli di mana, nih?"

"E-commerce. Waktu itu mau ke Surabaya. Emang empuk, sih. Worth for the price."

"Oh, berarti mahal?"

"Nggak juga, sih. Relatif."

Resti manggut-manggut. "Kamu belum jawab pertanyaanku, lho. Kamu bener-bener serius mau buktiin omongan kamu, ya?"

"Yes, indeed."

"Kamu seyakin itu?"

Kali ini gue nggak langsung menjawab. Sejenak, gue menarik napas dalam-dalam sembari menyusun kalimat.

"Kalau soal yakin bakal berhasil atau nggak," gue menjeda. "Jujur, aku nggak tau, Res. Tapi, aku yakin beneran serius mau buktikan omongan aku semalam."

"Good luck, Dit."

Mendengar itu, otomatis gue terperangah. Gue menatap Resti dan jalan tol secara bergantian. "Serius? Gitu doang respons kamu? Maksudnya apa?"

"Artinya, semoga beruntung, Adit."

Yaaaa... Gue juga tahu artinya secara harfiah.

"Aku merasa kayaknya nggak bakal segampang itu buat buktikan ke kamu," kata gue akhirnya.

"Syukur deh, kamu sadar." Resti menoleh. Walau mobil dalam agak remang-remang. Hanya dibantu oleh lampu-lampu di jalan, tapi bibirnya tertarik sedikit.

Mata gue mengerjap.

Demi Tuhan, sekarang maksudnya apa lagi?

Kenapa dia senyam-senyum gitu? Ada maksud apa di balik senyam-senyumnya?

"Jadi, ini nggak masuk hitungan effort aku?" gue memastikan sekali lagi.

Padahal gue cuma tidur beberapa jam, beli sarapan dan hot chocolate buat dia. Nyetir dari rumah dini hari ke apartemennya.

Small credit won't hurt, right?

"Tergantung, Dit." Bahu Resti terangkat. Jawabannya mengambang. Dia kemudian mengatur posisi bantalan di lehernya. Matanya mulai memejam. "Aku bobo dulu. Nanti bangunin aku begitu udah nyampe."

Detik berikutnya, suasana mobil gue langsung mengheningkan cipta.  

*** 

[10.03.2024]

The Emergency BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang