33. Pilihan Atau Cadangan

1K 176 8
                                    

Adit: Res, kita bisa ngomong bentar?

Adit: please. Let me explain.


Pesan itu nggak digubris Resti.

Boro-boro, gue yakin nomor gue pasti sudah di-blocked sama cewek itu. Semua medsos gue juga. Gue nggak bisa akses apa-apa dari Instagram. Tapi kalau gue coba pakai akun lain, medsos Prajna misalnya, akun Resti masih bisa dibuka.

Saat tahu itu, Prajna hanya menyemangati gue.

Well, memangnya gue bisa dapat apa lagi? Dukungan moral sudah dicurahkan waktu malam diinterograsi sama Agharva. Selanjutnya, hanya tinggal aksi dari gue saja.

Selintas memang gue pengin kontek Restu, tapi gue merasa itu hanya jadi jalan terakhir gue. Gue tahu Restu nggak bakal serta-merta ngasih gue kesempatan kayak sebelumnya. Maka dari itu, gue nggak bisa mengandalkan privileges-nya sebagai kakak orang yang gue suka.

Terus, gimana caranya gue bisa kontek Resti?

Gue sudah datang ke kantornya. Tetapi kata satpam, Resti sudah pulang. Entah beneran, atau pura-pura. Namun, mengingat gue tiba di area gedung kantor Resti di atas jam delapan malam, kemungkinan besar Resti memang sudah pulang.

Kemudian, gue juga sudah coba hubungi Angga dan Mia. Tapi nihil. Dua-duanya sepertinya kompak ngeblock nomor gue sebagai dukungan untuk Resti.

Sialan. Gue benar-benar buntu!

"Mas Adit." Ayu memanggil.

"Hm?"

"Aku mau ke toko buku bentar, ya. Mas Adit mau ikut juga atau tunggu Mama pilih-pilih sepatu?"

Spontan, gue menoleh. Nyokap gue masih sibuk memilih-milih sepatu di sebuah department store. Padahal seingat gue, nyokap baru saja beli sepatu juga minggu lalu.

"Kamu duluan aja ke toko bukunya. Mas nyusul. Mas mau bilang dulu sama Mama. Biar nggak dicariin."

Setelah Ayu mengiyakan, gue menghampiri nyokap yang masih galau. "Ma..."

"Ayu udah ke toko buku?" Mama bersuara seraya meraih sebuah sandal berwarna kecokelatan dengan bantalan yang tampaknya empuk. Wanita ini nggak repot-repot untuk menatap gue. "Dari tadi Mama udah nungguin biar dia ke toko buku. Soalnya Mama perlu ngomong sama Mas Adit," ujarnya tanpa basa-basi. Kemudian, "Mas Adit putus dari Resti?"

Gue nggak langsung merespons.

"Jangan coba-coba bohong sama Mama ya, Mas."

Akhirnya, gue mengembuskan napas. "Adit sama Resti baik-baik aja, Ma. Wajar, kok, kalau pasangan berantem."

Mama melempar tatapan sangsi. "Yakin baik-baik aja walau berantem? Kalau baik-baik aja, kenapa Resti nggak ikut? Atau, Mas yang sengaja nggak ngajak Resti? Padahal, kan, ini Mama mau ajak dia jalan-jalan!"

Skakmat.

Gue nggak tahu gimana responsnya.

Nyokap memang pernah ngomong pengin ajak Resti jalan bareng. Beliau sudah merencanakannya dari lama. Dari awal, gue tahu nyokap memang suka Resti-as in, she's giving the green light to her. Malah, nyokap sudah menganggap Resti seperti anaknya sendiri sampai kadang bikin gue jealous juga.

"Hai, Tante Laras." Suara manis Resti muncul, membuat gue terperanjat.

Refleks, gue berputar cepat dan mendapati Resti yang mengintip dari belakang badan gue sambil melempar senyum lebar ke arah nyokap.

"Ah, Resti!" Nyokap berseru nyaring sambil membentangkan tangan dan membiarkan Resti menghambur ke dalam pelukannya.

Gue ternganga. Sejak kapan Resti di belakang gue?

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now