2. Delapan Tahun yang Sia-sia

2.5K 350 17
                                    

"Nggaklah. Lo yang dengerin gue, Monyet Ragunan! Lo apain temen gue? Lo selingkuh dari Resti tapi ngajak dia beli cincin buat married, mau lo apa, Nyet?!"

Aku menggeleng-geleng mendengar omelan Angga di ponsel.

Begitu mendengar cerita hubunganku yang mendadak karam, dia langsung meminta nomor Patra.

Sebenarnya aku sudah nge-block nomor lelaki itu. Tetapi efek bucin selama delapan tahun, nomor itu seolah terpatri di otakku. Dengan gampangnya, aku menyebutkan nomor Patra.

Aku nangis beberapa malam gara-gara sakit hati, dikhianati, dan kawan-kawannya. Air mataku mungkin sampai kering kerontang. Mataku pedih. Bahkan, ke kantor dalam keadaan mata bengkak dan wajah pucat.

Plus, aku juga tidak bertekad balikan. Hell, no. Apalagi melihat reaksinya tempo hari, aku yakin Patra tidak butuh kesempatan lagi. Sampai hari ini, aku belum tahu maksud reaksinya apa.

Katanya, kadang lebih baik tidak perlu tahu tentang segalanya. Barangkali memang lebih baik aku tidak perlu tahu maksud reaksi Patra.

"Yaiyalah, nomor lo di-block! Ngapain juga nyimpen-nyimpen nomor Monyet Ragunan kayak lo?!" semprot Angga tanpa ampun.

Otomatis aku terbahak-bahak.

Mia yang duduk di sebelahku ikut tertawa. Dia sampai menggebrak-gebrak meja saking ngakaknya gara-gara sumpah-serapah yang keluar dari mulut Angga.

Tidak disangka, lelaki yang biasanya paling cool dan kalem di kantor itu bisa juga ngomel-ngomel. Sepertinya aku benar-benar beruntung karena dikelilingi orang-orang yang suportif!

"Mantan lo benar-benar sialan," Angga kembali duduk setelah puas mengomel. "Telepon gue ditutup," ucapnya seraya menyesap bir kaleng.

"Lo ngomel ngalahin Emak gue tau nggak, Ga?" geleng Mia tak habis pikir.

"Kalau ada orangnya, gue tonjok sih," ringis Angga.

"Mana mungkin," Aku menggeleng-geleng skeptis.

Saat itu aku dan kedua temanku sedang nongkrong di salah satu tempat hits di bilangan Blok M. Suasananya ramai, berisik, dan lumayan padat meski masih bisa hilir-mudik. Tempat yang bukan Patra banget.

"Tapi Patra emang sialan, sih Gue kira dia sayang banget sama lo. Delapan tahun itu nggak lama, lho!" timpal Mia.

"KPR aja kalah sama lamanya hubungan lo," Angga melirikku. "Lagian lo berdua kenapa nggak married aja dari dulu?"

"Belum siap. Ya masa maksa married pas nggak siap, sih? Ogahlah gue!"

"Setuju!" Mia manggut-manggut sambil mengacungkan jempol.

"Bener, sih," Angga masih tampak ingin mendebat, tapi akhirnya memilih mengembuskan napas panjang. "Tapi apes banget, ya. Eight years for nothing."

Aku tersenyum pahit.

Diam-diam aku menyetujui ucapan Angga. Benar saja. Seketika delapan tahun itu terasa sia-sia karena chat sialan yang kulihat di ponsel Patra.

Satu sisi aku benci melihatnya. Namun sisi lain, aku juga senang melihatnya sebelum menikah. Sebelum terlambat. Entah gimana pernikahan kami seandainya aku tidak pernah tahu soal chat itu.

Lebih disayangkan lagi, aku merasa seolah tidak mengenal Patra.

Aku tidak tahu sejak kapan Patra melakukannya tanpa sepengetahuanku. Entah apa alasannya. Padahal kalau dipikir-pikir hubungan kami tidak pernah bisa dibilang serta-merta lurus juga. Seandainya sudah tidak tahan, kenapa mesti bertahan?

"Terus, Om sama Tante lo udah tau, Res?" Mia tiba-tiba angkat suara.

Kepalaku mengangguk kecil. Mereka memang sudah tahu. Kurasa Tante ingin gereget mengulik. Tetapi aku janji padanya bakal atur jadwal ketemuan untuk menjelaskan segalanya sekalian meet up setelah sekian lama tidak bertemu.

Namun sampai sekarang, aku belum mikirin lebih lanjut. Lebih tepatnya, belum tahu harus berkata apa kepada Om dan Tante. Aku juga tidak bisa membayangkan gimana reaksi mereka begitu tahu hubungan delapan tahunku ambyar.

"Gue mau meet up sama mereka," kataku. "Tapi belum gue tentuin mau ketemu di mana."

"Nggak usah cepet-cepet sih saran gue," sahut Angga. "Gue bukan saranin lo kabur dari mereka, ya. Gimana juga mereka mesti tau, tapi gue mau lo fokus recovery buat diri lo sendiri aja dulu."

Senyum terukir di bibirku. "Duh, gue mau banget peluk lo deh, Ga. Boleh nggak?"

"Eits, nggak boleh!" sergah Mia cepat. "Gue posesif soalnya."

Angga mengayunkan tangannya kepada Mia. "Nah, lo udah denger sendiri, Res. Pacar gue emang seposesif itu."

Mata Mia berkedip-kedip manja sambil bertumpu siku. "Tapi sayang, kan?"

Melihat kemesraan dua temanku, mendadak bikin hatiku seperti dicubit. Ternyata begini rasanya menjadi third wheel.

Diam-diam, aku menyesap es kopi yang kupesan sambil memandangi suasana tempat nongkrong yang makin malam malah kian ramai. Padahal kami sengaja pilih outdoor biar tidak sumpek. Sayangnya, di luar pun tetap terasa ramai. Mungkin gara-gara live music.

Sepertinya tempat ini lumayan sering ada acara live music. Memang ada fasilitasnya juga, sih. Manajemen tempat ini seolah memang sengaja bikin space yang bisa dipakai untuk panggung kecil-kecilan.

"Res, Res! Itu Patra, kan?"

Aku menoleh cepat. Mataku melebar ketika mendapati Patra yang celingak-celinguk di antara orang-orang.

Refleks, aku mengumpat.

Aku yakin lelaki itu sedang mencariku. Entah gimana dia bisa menebak keberadaanku.

"Eh, eh! Resti mau ke mana?!"

Tanpa mengindahkan kebingungan kedua temanku, aku bergegas meninggalkan area live music. Panik. Sengaja, aku mengambil jalan memutar agar tidak berpapasan dengan Patra. Untungnya, aku lumayan hafal jalan pintas di situ.

Ketika melihat sebuah kafe yang agak sepi, tanpa berpikir lagi aku segera merangsek masuk.

"Selamat datang di Goutez Le Votre."

Wangi roti dan kue-kue langsung menyelinap masuk ke rongga paru-paru. Perutku mendadak keroncongan melihat roti dan kue di etalase kaca maupun meja display yang tampak lezat.

Sambil menepis keinginan itu, aku menghampiri kasirnya. "Mbak, maaf. Saya boleh sembunyi bentar, nggak?"

"Sembunyi?" Mbak-mbak itu tampak bingung. Lalu dia mengangguk dan menunjuk ke sebuah pintu tak jauh dari situ.

"Toilet?" tanyaku, memastikan.

"Bukan. Mbak pake ruangan sebelahnya. Itu cuma gudang, kok."

Usai berterima kasih, aku bergegas menuju pintu yang dimaksud. Alisku mengernyit heran tatkala melihat pintunya yang berukir kuda. Padahal di depan tadi, kafe ini tampak normal seperti kafe pada umumnya. Tidak disangka ada pintu berukiran kuda di dalamnya.

Ukiran kuda itu kelihatan seperti kuda biasa. Entah perasaanku saja atau bukan, tapi rasanya ada sesuatu yang magis dan bikin bulu kuduk meremang saat benar-benar memperhatikan ukiran kuda.

Tiba-tiba pintu itu terayun ke arah berlawanan. Aku, yang sedang memegang gagang pintunya mendadak limbung. Sebelum sempat bereaksi, hidungku menubruk seseorang. Selain roti dan kue-kue, kini ada wangi lain yang tercium: Downy—pelembut pakaian, bukan yang jadi Iron Man.

Pelan-pelan, aku mendongak.

Lelaki itu termasuk jangkung. Rambut depannya dibiarkan sedikit menutupi kening, agak panjang dikit bagian belakang. Wajahnya tirus, tapi masih menarik dipandang.

"Resti?" 

***

still over the rainbow, 17 August 2023

A/N: alright! Dua chapter!

Semoga berkenan. 💕 enjoy your reading!

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now