5. Toge-ther With You

1.6K 240 12
                                    

"Lo yakin beneran Adit? Beneran Adit temen gue yang jamet itu waktu kuliah?"

Aku memutar bola mata.

Minimal sudah sepuluh kali Restu menanyakan pertanyaan yang sama dari jok belakang. Untuk pertama kalinya, aku merasa perjalanan ke Satrio One terasa lebih lama dan panjang dari biasanya.

"Banyak nanya ya, kayak Dora," ejek Adit seraya tertawa.

"Gue nanya, kampret!" umpat Restu tak sabar. "Masalahnya, Adit yang gue kenal dulu jamet banget tampangnya!"

Diam-diam, aku memandang ke luar jendela mobil sekaligus menahan tawa.

Reaksi Restu sebenarnya masih kategori wajar. Aku sama tak percayanya saat teringat sosok Adit dulu versus Adit sekarang. Memang bak langit dan bumi. Namun, aku tidak bereaksi terang-terangan seperti Restu.

Tampaknya, kakak kembarku itu mengalami syok berat.

"Sumpah, gue beneran Adit," kekeh Adit. "Perlu tunjukin KTP nggak, nih?"

"Nggak usah, deh. Berasa dukcapil nanti."

"Ngomong-ngomong, ngapain ke Satrio One, Tu?" Adit melirik Restu lewat kaca spion. "Mau nge-date?"

"Enak aja. Gue ada janji sama temen kantor," koreksi Restu.

"Cewek?" Kali ini aku bertanya. Jarang-jarang aku kepo soal urusan percintaan Restu. Lelaki itu kan hampir tidak pernah cerita soal kehidupan percintaannya.

"Iye, cewek."

Aku ber-oh-ria sambil cekikian geli. Sedangkan Adit juga menyeringai di joknya. Sama-sama tahu saja.

"Lo berdua ke mana?" tanya Restu.

"Sekitaran Blok M. Adit katanya mau tampil."

Adit benar-benar menjemputku pada Minggu siang. Kali ini, dia mengenakan kaus Polo warna biru dipadukan jins gelap. Tentu saja, sepatunya Vans.

Penampilannya santai, tapi lelaki itu seolah punya magnet yang menarik kaum Hawa. Aku menyadari beberapa perempuan yang melintas di lobi tadi melempar pandangan kepo ke arah Adit.

Otomatis aku meng-update "Papan Skor Adit"—yang tanpa sadar kubuat dalam hati tiap bertemu atau mengobrol dengan Adit.

Makin sering kuisi papan skor tersebut, makin nano-nano juga perasaanku terhadap lelaki itu. He's quite attractive in many ways.

"Lo masih suka nge-band, Dit?" timpal Restu.

"Kalau sempat aja." Adit memberikan jawaban yang sama. Kemudian, "Hng, ini nggak apa kan gue ajak Resti keluar?"

"Gue bilang kan lo mesti bertanggung jawab. Dia uring-uringan gara-gara lo!" kata Restu enteng.

"Gue nggak uring-uringan!"

"Yang penting dia nggak mendekam ngegalauin mantannya aja," ujar Restu lagi.

Aku terkesiap dan menoleh ke jok belakang. "Gue nggak ngegalau!"

"Nggak galau, tapi nangis doang malam-malam?" balas Restu tengil.

"Gue nggak nangis! Siapa yang nangis?"

"Siapa juga yang minta gue jam satu pagi ke minimarket buat beli tisu gara-gara persediaan tisu abis?"

Sontak saja, aku merapatkan bibir. Wajahku dipastikan memerah bukan main.

Malam itu memang persediaan tisunya habis. Padahal aku lagi butuh untuk menyeka air mata gara-gara masih menangisi Patra. Well, namanya juga orang baru putus. Kalau bukan karena terpaksa, aku juga tidak akan minta Restu membeli tisu.

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now