4. Unexpected Call

2.1K 314 31
                                    

"Kenapa lo tiba-tiba ngebet nanya soal Jamet, sih?!" protes Restu galak di telepon. "Kemarin udah gue jawab sampai bibir dower juga. Sekarang lo mau nanya apa lagi, sih?"

Bibirku langsung mengerucut.

Namanya juga orang penasaran.

Bahkan otakku isinya Adit semua sejak malam itu. Meski hampir semua pertanyaanku dijawab Restu, tapi rasanya masih ada yang kurang.

Malam itu Adit benar-benar menemaniku sampai bertemu Angga dan Mia. Lelaki itu juga sempat ngobrol dengan Angga yang rupanya update tentang beberapa band yang sering tampil di situ, tanpa kecuali band Adit cs yang bernama: D'Akustik.

Sementara aku dan Mia hanya menimpali sesekali.

Selain tidak mengerti-mengerti amat, aku lebih menahan diri agar Mia kepo terang-terangan. Temanku yang itu suka lupa diri kalau jiwa keponya bergetar. Kaki Mia saja tidak berhenti menyenggol-nyenggol kakiku di bawah meja.

Apalagi saat Adit sesekali melempar tatapan ke arahku.

Entah apa maksud tatapannya. Namun gestur lelaki itu sukses membuatku kalang-kabut. Kedua pipiku sudah beberapa kali dibuat merona olehnya.

Begitu Adit mulai manggung, kupikir napasku kembali normal. Ternyata, tidak.

Kalau istilah kekinian, "Damage"-nya gila banget! Lelaki itu keren abis memegang gitar bass-nya! Kupikir dia gitaris, ternyata seorang bassist.

Aku tidak pernah menganggap seorang bassist itu keren. Pesonanya seolah kalah banyak dengan gitaris, vokalis, atau drummer. Tapi malam itu, pandanganku berubah.

Adit ganteng pol sambil memetik senar bass-nya.

"Gue mau tau dia kerja di mana."

"Lo tanya aja ke orangnya," saran Restu, sama sekali tidak membantu.

"Lo yang bener aja, deh! Gue kan nggak punya nomornya!"

"Ya elah, lo tinggal bilang minta nomor dari gue, Resti!" Restu terpantau makin tak sabar. "Dah, gue mau makan siang dulu. Nanti gue kirimin nomor si Jamet!"

Restu menutup telepon tanpa menunggu respons dariku.

Tingkahnya benar-benar memancing emosi. Tak urung, aku menanti ucapannya. Aku memelototi layar ponselku dengan penuh harap. Bodo amat paviliun yang menjadi tempat biasa makan siang rasanya mulai mirip-mirip sauna.

Pertanyaan tentang Adit terus bercokol di benakku. Sekarang, aku tidak tahu siapa yang gila. Aku atau lelaki itu.

Sejurus kemudian status Restu berubah menjadi last seen.

"Restu kambing!!!" umpatku spontan.

"Lo kenapa?" Mia terheran-heran.

"Restu nggak ngirim nomor Adit. Katanya, mau ngirim. Tapi malah nggak dikirim-kirim!"

Mia tertawa. "Duileh, yang lagi kepincut sama Dikta KW. Pepet teros, jangan kasih kendor!"

"Woi, nggak gitu!" Alisku menyatu. "Kok, Dikta KW, sih?"

"Sekilas mirip Dikta," jawab Mia sekenanya.

Tawa Angga berderai. "Iya, sekilas. Ngomong-ngomong, pepet aja si Dikta KW, Res. Gue approve!"

"Gue juga!" angguk Mia penuh semangat.

Mataku langsung mendelik malas. "Jangan aneh-aneh. Dia temen kakak gue. Bisa repot kalau kepincut. Urusannya sama Restu!" Bayangin mesti berurusan dengan Restu bikin tubuhku langsung bergidik. "Gue juga baru putus dari Patra, kan. Santai dulu nggak, sih?"

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now