26. Pengakuan

856 176 16
                                    

Kejadian di depan mataku terjadi begitu cepat.

Aku terkesiap, tapi tubuhku beku di tempat. Napasku tertahan. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya aku mulai bergerak untuk menolong Adit.

"Di—"

Tiba-tiba kepala Adit menggeleng. Gesturnya seolah mencegatku untuk membantunya. Menyadari kode darinya, aku terperangah. Tak percaya.

Kenapa lelaki ini malah tidak mau dibantu?

Minimal, dicegah biar tidak ada tinju atau serangan lain yang menghantamnya, deh. Aku tidak mau dia main sok jadi pahlawan di tempat ini maupun di depan Restu.

"Jawab pertanyaan gue, sialan!" Restu mengguncang-guncang Adit hingga terdengar suara krek samar.

"Baju gue bisa sobek, Tu—"

"Met!" hardik Restu.

Adit membuang napas keras sebelum akhirnya balas menatap Restu. "I just knew," jawabnya kemudian. Nadanya tidak gentar. Tegas, tapi tidak terkesan menantang juga.

"Lo boleh percaya atau nggak. Gue juga tadinya nggak percaya itu bisa terjadi sama gue. Tapi, it happens."

"Bukannya lo bilang awalnya mau pura-pura jadi pacar barunya aja? Pura-pura, Met!" selidik Restu.

Adit manggut-manggut. "Bagi gue itu lampu hijau karena gue emang bertekad ingin menjadi bagian dari hidupnya dan kalau memungkinkan jadi orang yang bisa meyakinkan Resti ke depannya bakal lebih baik dari yang dia alami saat itu," beber Adit. Dia melirikku sekilas dan melempar senyum samar.

"Lo bukannya baper karena kalian... apa, tuh? Pacar darurat? Apalah itu?" tuduh Restu skeptis.

Adit menyeringai. Lalu mendeham. "Gue ngerinya juga gitu. Malah, gue sempat mikir, ini cuma some kind of random fling—yang palingan cuma suka-suka biasa aja, bentar juga hilang. Apalagi Resti itu lucu, manis—"

Refleks, aku menutupi pipiku yang bersemu dengan kedua tangan. Astaga, bisa-bisanya lagi tegang gini dia menyebutku lucu dan manis...

"Najis lo!" desis Restu tiba-tiba.

Mataku langsung mendelik malas kepadanya. Sementara dia juga ikutan melempar tatapan mengejek yang bikin aku pengin mencakar wajahnya.

Dasar nggak bisa melihat orang seneng!

"Tapi spending more time with her, gue mulai merasa ada yang aneh. Ini bukan suka-suka biasa yang bentar doang hilang. Again, it's weird. Saat dia butuh orang di sisinya, gue mau jadi orang itu. Waktu dia perlu didengarkan, gue mau jadi pendengarnya. Ketika dia merasa nggak punya tempat buat pulang, gue mau jadi tempatnya pulang, bikin dia merasa aman dan nyaman," Adit melanjutkan dengan nada lembut.

Walau ngomongnya dengan Restu, tapi aku merasa seolah dia sedang berbicara denganku. Matanya menatapku lamat-lamat. Senyumnya terulas tipis.

"Sampai situ gue makin yakin, gue hanya mau dia. Gue mau menjadi bagian dari hidup Resti dan berharap dia juga mau menjadi bagian dari hidup gue."

Lagi-lagi, Adit melirikku saat mengatakannya.

Hatiku meleleh.

Kemudian pandangan Adit beralih lagi kepada Restu. "It's a strange feeling and grow quite fast, I know. Tapi gue bisa jamin, perasaan gue nyata. Emang awalnya gue cuma jadi Pacar Daruratnya, tapi gue mau hubungan ini berlanjut. Dan, gue tau itu artinya harus siap-siap ngadepin lo, Tu."

Selama beberapa tarikan napas, tidak ada respons dari Restu.

Dia hanya duduk diam dan memperhatikan Adit. Untuk pertama kalinya, aku berharap punya superpower untuk bisa membaca pikiran kakak kembarku. Restu yang diam membuatnya lebih sulit dibaca daripada Restu yang blak-blakan.

The Emergency BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang