28. Hanya Kita Berdua

1K 180 8
                                    

 "Kira-kira buat promosinya mau gimana, Ti?" Angga melirikku sejenak.

Tidak berbeda jauh denganku, tampangnya juga sama kusutnya. Kami sama-sama sudah kehabisan ide untuk bikin konten promosi novel di media sosial.

Sebenarnya ini job desc Angga sebagai anak MarCom (marketing communication). Namun, karena ada sangkut-pautnya dengan novel yang kuedit, mau tak mau, aku juga mesti ikutan brainstorming. Mau si penulis punya nama atau tidak, memang sudah menjadi kewajiban penerbit untuk memasarkan novel si penulis juga. Maka dari itu, editor dan tim MarCom mau tak mau mesti kolaborasi biar kontennya tidak flop.

"Ini gue juga lagi mikirin sih, Ngga," aku memandang timeline yang terpampang di layar laptop.

Kepalaku mulai pening.

Akhir-akhir ini banyak buku yang kuedit bakal terbit. Selain brainstorming sama anak MarCom untuk persiapan promosi, aku juga mesti tek-tok-an dengan penulisnya yang barangkali punya ide.

Bolak-balik ngobrol tentang strategi promosi di medsos, syukur-syukur menemukan strategi promosi yang unik, tapi tak jarang mengalami yang namanya buntu ide. Akhirnya, stuck di ide yang gitu-gitu saja.

Tidak gampang bekerja di industri kreatif. Industri seperti ini sering "melek" dengan tren. Dedikasi selama sembilan tahun ternyata tidak serta-merta bikin aku merasa si paling paham dengan dunia penerbitan.

Intinya, tren baru selalu ada. Meski sifatnya musiman dan tak jarang kadang tidak semuanya pas, tapi bukan berarti tren yang lagi nge-hype berarti buruk. Just take the good thing, leave the bad one. Tren kalau dikelola dengan baik, tak jarang bisa menjadi nilai tambah juga dan kesannya fresh.

"Ngomong-ngomong, lo udah mendingan, Ti?" Tahu-tahu Angga mengganti topik. Dia menatapku lamat-lamat. "Mia bilang Jumat kemarin lo kena diare?"

Aku manggut-manggut.

Masalah diareku memang sudah selesai praktis setelah menelan beberapa pil Norit. Itu juga setelah dipaksa-paksa oleh Restu. Abisnya dia segala mengancam mau menelepon Adit, sih. Jadinya, aku menelen pil-pil berwarna hitam yang syukurnya efektif meredakan diare yang kualami.

Adit sebenarnya juga sempat menelepon dan mengirim chat beberapa kali untuk menanyakan keadaanku. Dia pun mau membawaku ke klinik seandainya diareku tak kunjung membaik juga.

Untungnya, diareku reda.

Aku malu banget kalau sampai Adit terlibat perkara remeh sampai ke rumah sakit gara-gara kebanyakan makan seblak.

"Itu beneran gara-gara makan seblak?" tanya Angga senyam-senyum.

Refleks, aku mendelik. "Lo nggak usah ngeselin gitu tampangnya!"

"Beneran?" Tawa Angga seketika membahana di ruang meeting. Untungnya ruangan itu dikelilingi kaca yang kedap suara. Seenggaknya, tawa nyebelin Angga jadi teredam hingga penghuni kantor itu tidak tahu-menahu ada yang lagi ngakak sore-sore out of the blue.

"Resek!"

"Asli, deh! Lo lagi kenapa nafsu amat makan seblak seminggu? Lagi ikutan challenge atau gimana?"

"Bukaaaaan. Itu gara-gara Restu. Kalau bukan gara-gara dia, gue juga nggak bakal makan seblak seminggu, tau!"

Lagi-lagi tawa Angga berderai. Kepalanya geleng-geleng, tak habis pikir. "Emangnya dia ngapain lagi, deh? Lo bukannya udah sering diisengin sama kakak lo sendiri?"

"Yah abisnya, dia pakai bikin Adit babak belur, sih! Kan, gue keki!"

"Astaga," geleng Angga. Dia kemudian bersandar pada sandaran kursi. "Jadi, lo beneran serius sama Dikta KW nih, ceritanya?"

"Intinya gue jadian sama dia," ucapku manggut-manggut. "Tapi gue sama dia kayak leap on faith gitu soal ke depannya. Walau gue yakin banget Adit udah punya rencana masa depan bareng gue."

Mata Angga membulat. "Lo serius? Adit punya rencana masa depan sama lo? Anjrit!"

Sebenarnya aku belum konfirmasi lagi soal masa depan bareng Adit.

Memang, sih, Adit pernah tulis di biodatanya mau menikah denganku. Kemudian, pas di hotel dia juga pernah bilang ngomong punya anak. But that's it. Aku tidak memusingkannya sampai tempo hari.

Malam itu, aku tidak bisa tidur gara-gara kepikiran tentang the one. Seandainya memang Adit the one buatku, lalu gimana cita-citaku yang sempat terbengkalai?

Aku terlalu menikmati proses hubungan dengan Adit akhir-akhir ini hingga melupakan adanya cita-cita yang terbengkalai. Meski bisa mengubah cita-cita itu, tapi aku masih ingin menikah ketika usiaku 30.

Usia 30-ku hanya tinggal beberapa hari lagi. Dari tiga cita-cita itu, aku yakin Adit bisa memenuhi semua kriterianya.

Pertama, dia bisa menikahiku.

Kedua, kami bisa mengambil tema intimate wedding.

Sayangnya, aku tidak yakin kami satu visi tentang child-free. Jelas-jelas, Adit sepertinya ingin punya anak.

***

"Kangen." Adit memelukku erat-erat.

Tawaku lepas. Tak urung, membalas pelukannya. Sesekali menepuk punggung lelaki itu dan menghidu dalam-dalam sisa aroma parfum dari kemeja yang dipakainya.

Mataku memejam. Rasa letih yang awalnya menggelayuti sekujur tubuhku, mendadak rontok. Dadaku berdebar. Kalau orang bilang hanya dengan bertemu dengan orang yang tepat bisa bikin rasa capek hilang, maka aku perlu mengacungkan jempol pada orang itu.

Bertemu dengan orang yang tepat di penghujung hari memang bisa bikin rasa capek hilang. Rasanya seperti sedang recharge energi hanya dengan memeluknya seperti ini. Pelan-pelan semangatku kembali. Padahal tadi rasanya aku sudah mau mati gara-gara tak tahan dengan macetnya jalanan hari ini.

"Aku nyari-nyari sewa di gedung ini, tapi kayaknya lagi full. Nggak ada yang available," ujar Adit.

Otomatis, aku mengurai pelukan. Bingung. "Emang kamu mau nyari sewa di sini buat apa?"

"Biar lebih dekat sama kamu. Kalau kangen, jadi lebih gampang ngapelnya."

"Ih, ngawurnya!"

"Kok, ngawur? Ini beneran, Res. Nggak ketemu kamu beberapa hari aja rasanya kayak... ya ampun, ternyata jomlo sesepi ini."

Mataku refleks mendelik. Kepalaku menggeleng-geleng seraya bersandar pada sofa apartemen.

Pulang tadi, apartemen masih kosong. Awalnya, aku berencana nonton Netflix sekalian santai-santai sedikit setelah dipusingkan dengan editan naskah dan brainstorming strategi promosi tadi.

Alih-alih menonton, sebuah skenario muncul di benakku.

"Kamu sebelum sama aku juga jomlo, kok. Kenapa begitu nggak ketemu sama aku beberapa hari gini malah uring-uringan?"

Adit ikut bersandar. Senyumnya merekah sambil menarikku bersandar pada dadanya. "Itu efek Resti's Addict. Dari awal kamu sering bikin aku uring-uringan."

"Dit."

"Dalem?"

"Mau short getaway, nggak?"

Tidak ada jawaban. Aku pun menarik diri dari dada Adit dan mendapatinya terperangah. Selama beberapa saat matanya tak berkedip menatapku. "Short getaway as in...?"

"Maksud aku, ehem, perginya cuma kita berdua aja. Nggak ada Restu."

*** 

beyond the sea, 10 Oktober 2023

A/N: hai, hai, hai! ^^ karena agak hectic banget, aku mau kasih jadwal buat update cerita ini. 

The Emergency Boyfriend update tiap SELASA. Kalau Mas Ilham lagi baik, aku update juga hari SABTU. (Doakan Mas Ilham baik... wkwkwkwk)

Jadiii... jangan lupa vote & comment-nya biar makin semangat update-nya. ^^ semoga kalian suka. Enjoy your reading. ^^ 

see you on next chapters! 

The Emergency BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang