6. Ide Gila

1.3K 238 15
                                    

"Resti."

Aku mendongak dan nyaris saja menjatuhkan ponsel ke meja saat Patra duduk di hadapanku. Wajahnya memelas.

Kafe Goutez Le Votre tidak begitu ramai siang itu. Tetapi semua mejanya ditempati. Aku dan Adit ke kafe itu setelah diberitahu band-nya batal tampil. Untungnya ada satu meja bundar kosong dekat jendela besar berkisi-kisi di bagian depan kafe.

Namun aku tidak menyangka posisi ini malah membuatku gampang ditemukan Patra. Sialnya, Adit juga belum balik dari toilet.

"Kamu ngapain ke sini?" desisku dingin.

"Aku mau ngomong—"

"Kamu nggak usah ngomong apa-apa," potongku menepis tangan Patra yang terulur.

"Res, tolong kasih aku kesempatan bentar—"

"Udah berapa lama?" Lagi-lagi, aku menyelanya.

Seandainya memang butuh kesempatan, aku hanya bisa menoleransi kesempatan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Lantas, aku menatap Patra lurus-lurus.

"Udah berapa lama kamu kayak gini?"

Patra tampak gelagapan. "Itu nggak sengaja."

"Aku nggak peduli mau sengaja atau nggak. Aku mau tau. Kamu udah berapa lama selingkuh? Sejak kapan?"

Lagi-lagi Patra tampak kebingungan sendiri.

Apakah pertanyaanku sesusah itu untuk dijawabnya? Atau, aku tanpa sengaja menelanjanginya dengan pertanyaan barusan?

"Ti, aku tau udah bikin kacau. Tapi please, jangan putus," Patra tidak menjawab pertanyaan. Nadanya putus asa seolah keadaan berbalik. Seolah akulah yang melakukan hal paling kejam.

Aku menarik napas dan manggut-manggut. "Kamu emang bikin kacau, Pat. Aku pikir delapan tahun ini kita baik-baik aja. Tapi kayaknya cuma di pikiran aku aja—"

"Kita baik-baik aja delapan tahun, Ti!"

"Kita nggak baik-baik aja, Pat!" serbuku meninggi. "Kalau kita baik-baik aja, kita nggak bakal kayak gini."

"Emangnya kamu berharap hubungan ini adem-ayem tanpa ujian? Ti, nggak mungkin hubungan adem-ayem aja!"

Mendengar ucapan Patra, hatiku seperti ditinju dan diremas tanpa ampun. Mataku pun terasa mulai memanas.

"Terus, kamu mau hubungan delapan tahun ini ada ujiannya, makanya kamu sengaja selingkuh?"

"Nggak gitu, Ti!" tukas Patra. "Kita udah delapan tahun, udah beli cincin, masa kita nyerah gara-gara kamu melihat chat itu doang, sih?"

"Itu bukan chat doang ya, Patra! Cewek itu kangen kamu, artinya kamu udah lebih dari satu kali ketemu dia!"

"Terus kenapa? Kamu melarang aku ketemu cewek lain? Aku aja nggak melarang kamu ketemu Angga atau penulis cowok yang naskahnya kamu edit!"

"Kita beda, Pat. Aku ketemu dan punya hubungan sama mereka semua sifatnya profesional," sergahku cepat. "Sekarang aku tanya ke kamu. Hubungan kamu dan cewek itu kayak apa? Mungkin nggak, hubungan profesional pakai chat kangen gitu?"

Patra terdiam. Namun, rahangnya mengeras. Jelas-jelas lelaki itu sedang menahan emosi.

Aku tahu Patra tidak pernah berteriak-teriak di depan perempuan. Apalagi di depan umum. Namun perdebatan ini kian memanas. Aku sendiri gerah menahan diri agar tidak kalap dramatis di kafe gara-gara Patra.

"Aku tau, aku udah kacau, Ti," kata Patra dengan nada lebih pelan.

"Good. Jadi, kamu ngaku selingkuh," komentarku sarkas.

"Ti, kita bisa nyari solusinya—"

Aku mengangguk. "Aku udah bilang solusinya, Pat."

"Putus bukan solusi!"

"Bagiku itu solusi. Aku nggak punya jalan lain—"

"Kamu punya, Ti. Kita punya solusi lain," sela Patra dan menyambar tanganku. Genggaman tangannya hangat, rada berkeringat sedikit. "Kita kasih masing-masing diri kita kesempatan lagi. Jangan sampai delapan tahun itu jadi sia-sia, Ti."

Aku menatap Patra lekat-lekat.

"Aku merasa delapan tahun itu udah sia-sia, Pat," kataku pedih. "Aku nggak mau hubungan selanjutnya cuma gara-gara kita udah jalanin delapan tahun, lantas kita menikah dan pretend seolah semuanya baik-baik aja. Nggak, Pat. Hatiku nggak bisa baik-baik aja. Nggak bakal bisa baik-baik aja. Aku bisa dihantui curiga, takut, dan semua perasaan nggak menyenangkan lain sepanjang hidup aku. Aku nggak mau, Patra."

Enough is enough. Nothing more to say. And, no more ace to play.

"Ti, Ti, Ti, please? Aku masih sayang sama kamu," pinta Patra mengeratkan genggamannya. "Aku bener-bener masih sayang kamu, Ti."

Aku menarik tangan dari genggamannya.

"Pulang gih, Pat," saranku seraya memaksa senyum terulas di bibir. "Aku ke sini bareng temen. Nggak enak sama dia kalau suasananya mendadak keruh karena masalah kita."

"Ti, jangan putus," Patra memohon. "Aku janji jadi orang yang lebih baik."

"Pat, aku mau cari temenku," Aku beranjak dari kursi sambil mencari-cari nomor Adit di ponsel.

Saat nada sambung terdengar, aku menempelkan benda itu ke telinga dan keluar dari kafe yang entah gimana makin ramai saja. Perasaanku mulai tidak enak lantaran teleponku tak kunjung diangkat juga oleh Adit.

Lelaki itu ke toilet universe mana, sih? Kenapa lama amat?

"Resti!" Patra memanggilku. Tangannya menahan lenganku. "Aku nggak mau putus, Ti! Kita tinggal sedikit lagi mencapai cita-cita kita. Bukannya kamu bilang kamu mau married sama aku?"

Aku ternganga. "Itu emang cita-cita aku dulu, Pat! Sebelum kamu bikin kacau!"

"Ti, please. Dengerin aku," pinta Patra menatapku lurus-lurus. "Aku tau aku udah bikin kacau. Tapi aku bisa wujudkan cita-cita kamu. Kita nggak perlu putus, Resti. Kasih kesempatan buat kita berdua lagi, Ti."

"Aku yang udah nggak melihat ada kesempatan lagi buat kita, Pat!" keluhku hampir menangis.

Aku benar-benar tidak tahan lagi dengan Patra. Di sisi lain, aku juga mencari Adit yang mendadak ghoib.

Demi Tuhan, jangan bilang aku kena ghosting lelaki itu!

Sejurus kemudian mataku menangkap sosok Adit yang baru keluar dari kafe. Kepala lelaki itu celingukan.

"Ti, aku perlu kesempatan—"

"Nggak," Aku memberanikan diri menatap Patra. Tiba-tiba saja sebuah ide terlintas di benakku. Entah ide gila ini dari mana. Tapi sort of aku yakin banget. "Aku..., udah sama orang lain, Pat."

Kebingungan tergambar di wajah Patra.

Tanpa mengindahkan kebingungannya, aku segera mengambil langkah mundur. Kemudian, aku berbalik. Setengah berlari menghampiri Adit. Saking terburu-burunya, sempat menubruk bahu orang dari arah berlawanan. Tetapi tak kuindahkan.

"Gue cariin di dalam," Wajah Adit lega begitu aku berdiri di hadapannya. Keningnya berkerut saat menyadari napasku yang ngos-ngosan. "Lo nggak apa, Res?" tanyanya cemas.

Sambil mengatur napas, aku mengangguk. "Dit, gawat. Gue perlu bantuan."

"Gue bisa bantu apa, Res?"

Mataku memejam, lalu menarik napas dalam-dalam. "Lo bisa pura-pura jadi pacar baru gue, Dit? 24 jam aja?"

"Of course," sanggup Adit tanpa ragu, lalu membawaku kembali masuk ke kafe. Senyumnya perlahan merekah. "God, you scared me. Gue kirain gue di-ghosting!"

Otomatis tawaku tersembur. Malah kukira akulah yang kena ghosting. "Mana mungkin?"

"Who knows?" Adit mengedikan bahu sekilas. Kemudian tangannya mengusap lembut rambut di kepalaku. "Lain kali, jangan nakut-nakutin pacar darurat lo lagi oke, Res?" 

*** 

under the sea, 22 August 2023

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now