14. Interogasi

997 206 31
                                    

 "Akhir-akhir ini ada yang lagi deketin lo, Ti?" tanya Restu saat menerima uluran perlengkapan mandi dariku pagi itu. Dia melirikku sekilas sebelum memasukan barang-barang ke koper.

"Ada. Koordinator gue."

Restu tersentak. Keningnya berkerut dalam. "Koordinator lo bukannya bapak-bapak ya? Udah married juga, kan?"

Otomatis aku mendelik. "Koreksi, koordinator gue cewek. Mbak Vida yang kecil-kecil cabe rawit itu. Dia nanyain gue progres editan naskah—"

"—ya ampun, bukan itu maksud gue. Maksud gue deketin tuh kayak cowok pedekate sama cewek! Bukan dideketin gara-gara nagih kerjaan!"

Astaga.

"Makanya, lo kalau nanya tuh yang spesifik. Yang jelas gitu, lho! Mana gue tau deketin versi lo maknanya apaan."

Restu memutar bola mata dan kembali melanjutkan packing.

Siang nanti dia ada flight ke Bali. Urusan kerjaan, katanya. Tadinya aku sok ide mau ikutan. Sempat kepikiran izin Mbak Vida remote working melalui WA—untuk masalah ini, memang kantorku santai asal deadline dan target tercapai.

Mumpung hari Jumat juga, sekalian bisa bablas dan pulang hari Minggunya. Hitung-hitung sebagai healing tipis-tipis dan kapan lagi bisa Work from Bali, kan?

Sayangnya begitu melihat rekening yang lagi mepet-mepetnya, aku terpaksa mengurungkan niat short getaway dadakan itu. Apalagi tiket Jakarta-Bali saat kucek tadi bintang satu, alias tidak ramah buat kocek kaum mendang-mending.

Terlepas dari itu, tumben Restu tanya-tanya. Biasanya dia tidak terlalu peduli aku sedang dekat dengan siapa. Sama-sama paham saja bahwa itu privasi.

Namun, tidak boleh ada yang berbohong.

Berbohong di sini bukan seperti ngehalu punya pacar idol padahal sebenarnya tidak. Berbohong di sini lebih kepada situasi hubungan yang dijalani diam-diam. Alias, backstreet.

Artinya, Restu mesti tahu seandainya punya pacar atau lagi punya hubungan serius dengan seseorang. Begitu juga sebaliknya. Kesannya memang overprotective, tapi alasan di baliknya karena kami praktis hanya memiliki satu sama lain. Jadi, kami harus saling menjaga.

Entah kenapa, pikiranku ditarik pada kejadian di tempat futsal tempo hari. Aku ingat tatapan Restu pada malam itu.

Jujur saja, tatapannya bikin merinding. Sampai hari ini, tubuhku masih bergidik tiap mengingat tatapan Restu.

Tapi sepulangnya dari futsal, dia tidak bertanya-tanya. Keesokan dan hari-hari berikutnya juga tidak ada pembahasan. Padahal aku sudah ngeri-ngeri sedap bakal diinterograsi. Aku juga membayangkan skenario terburuk, bahkan sampai berdiskusi bareng Adit seandainya Restu bertanya-tanya.

Hasilnya, nihil.

Restu tidak bertanya-tanya. Aku menduga lelaki itu lupa. Selama beberapa hari terakhir, aku mulai tenang sampai tadi.

"Kenapa emangnya?" Aku sengaja duduk di ujung kasur Restu. Kedua tanganku dilipat untuk menekan rasa gugup yang tiba-tiba menjalar. "Tumben lo nanyain."

Restu mengangkat bahu. "Nanya aja. Kali-kali aja, lo mulai mau buka hati buat orang baru lagi."

Mulutku membulat.

"Gue juga nggak mau lo seenaknya ngundang-ngundang cowok ke apartemen mentang-mentang gue nggak ada selama tiga hari ke depan," lanjutnya. "Nggak ada masuk-masukin cowok ya, Ti."

"Ya ampun, Tu. Gue juga ngerti kali soal itu!" cibirku spontan. Tanganku mengibas-ngibas. "Lagian tenang aja sih, Tu. Sejauh ini gue masih terpantau jomblo dan belum ada kemauan buat buka hati buat orang baru."

The Emergency BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang