9. Mama sang Juru Kunci

1K 213 5
                                    

Adit: yakin nggak perlu gue jemput di kantor aja?

Resti: plis, Dit. Gue bilang kan nggak usah. Ini gue udah mau balik, kok. Udah pesen Grab juga. Lo nanti jemput aja di apartemen.

Adit: oke. Share location aja ya.

Resti: buat apa ya?

Adit: buat make sure aja lo sampai di apartemen dengan selamat. Oke?

Detik itu juga sebuah tabokan keras mendarat di punggungku. Aku langsung melotot ke arah Mia yang sedang memekik heboh di sebelahku.

"Sakit ya, Mi!" protesku.

Mia tidak mengindahkan. Dia tetap heboh. Euforianya sama seperti waktu dia berhasil nge-war tiket Coldplay.

Hari Sabtu begini mestinya aku libur. Kantor juga sepi dan lengang saat aku datang tadi pagi. Bagian redaksi juga biasanya libur, tapi ini pengecualian.

Hari ini salah satu penulis yang bukunya diedit Mia harus tanda tangan ribuan eksemplar yang terjual saat masa pre-order. Akhirnya, beberapa dari tim redaksi membantu Mia untuk menyiapkan buku-buku tersebut.

"Hidup lo kenapa kayak novel-novel sih, Res?" pekik Mia girang. Sepasang matanya berbinar-binar. "Kok, kayaknya gue sama Angga nggak se-uwu kayak lo sama si Dikta KW, sih?"

Refleks aku mendelik.

Diam-diam di sebelahku, ternyata dia memantau aktivitasku! Kupikir Mia asyik chatting-an dengan Angga. Saat menaiki lift tadi, dia pasalnya sudah sibuk dengan ponselnya.

Sewaktu tahu Patra selingkuh, aku memang merasa hidupku cocok jadi plot novel, serial, film, atau bahkan sinetron sekalian. Apalagi kasus perselingkuhan akhir-akhir ini kan booming juga.

"Lo sama Angga tuh pasangan uwu, kok," Aku berkata seraya mencemplungkan ponsel ke dalam tas setelah share location. "Tapi kayaknya kriteria uwu lo melonjak tinggi gara-gara keseringan dibikin uwu sama tokoh fiksi yang bukunya lo edit!"

Tawa Mia berderai. "Sialan! Nggak gitu juga, woi. Eh tapi sori nih sebelumnya ya, Res. Bukannya gue mau banding-bandingin, tapi gue merasa Dikta KW ini kayaknya lebih... apa, ya sebutannya?"

"Ganteng?" Aku terkikik geli.

"Ya dia emang lebih ganteng dari Patra, sih," angguk Mia masih senyam-senyum. "Tapi bukan itu maksud gue. Gue tau lo selama delapan tahun sama Patra melulu, cuma entah kenapa sama si Dikta KW tuh lo lebih ceria aja."

Alisku langsung terangkat.

Saat bersama Patra, aku merasa ceria-ceria saja. Hampir tiap weekend kami selalu menghabiskan waktu bareng-bareng. Sementara kalau hari biasa, Patra selalu jemput aku sepulang kantor lalu berakhir diteror Restu gara-gara kebablasan nge-date.

Rasanya, aku tidak punya alasan untuk tidak ceria ketika bersama Patra. I was in love.

"Perasaan lo aja kali, Mi. Waktu sama Patra juga gue ceria-ceria gitu, kok!"

"Coba deh lo tanya aja sama Angga. Kalau dia jawab lo lebih ceria sekarang, lo jajanin gue Xiboba gimana?" tantang Mia.

Aku tertawa. "Bilang aja lo ngidam minum boba!"

"Tepat, sekali!" angguk Mia tanpa tedeng aling-aling. Dia menarikku ke dalam pelukan. "Thank you ya udah ditemenin ke kantor hari libur gini."

"Sama-sama. Sori banget nggak bisa temenin sampai penulis lo kelar tanda tangan--"

"Stop!" Mia menyela cepat. "Gue maafin lo asal Senin besok gue mau cerita lengkap soal hari ini tanpa dipotong-potong!"

"Hah? Ya kali! Kalau nggak ada yang perlu diceritakan gimana?"

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now