11. Unexpected Guest

1K 205 13
                                    

Aku pernah bilang tentang ini. Bersama Adit terlalu gampang. Way too easy. Rasanya seperti mudah saja menjadi akrab dengannya. Selain itu, dia kelihatannya tidak sadar ucapan dan gesturnya mampu bikin orang lain salah paham hingga baper tak ketulungan.

Sebenarnya tipe-tipe begini yang berbahaya untukku.

Sangat. Sangat. Berbahaya.

Mungkin mengakhiri status kami sebagai Pacar Darurat adalah solusinya. Tapi entah kenapa, setiap kali menghabiskan waktu bareng Adit, aku malah lupa total. Sedangkan Adit entah gimana malah sulit dibaca. Entah dia juga lupa atau sengaja melupakan.

Selama bersama Adit, aku malah seperti berada di universe lain yang hanya ada kami doang. Obrolan kami lancar. Kalau aku lagi ada masalah, dia selalu menawarkan bantuan sebagai pendengar semua keluh-kesahku.

Seperti sekarang.

Adit muncul di apartemen meski kubilang tidak perlu. Lelaki itu masih dalam balutan kemeja putih slimfit yang lengannya sudah digulung sampai siku. Wajahnya lelah setelah kerja sepanjang hari, tapi masih mau mendengar celotehanku yang rasanya tidak masuk akal.

"Maksud gue, kalau emang dia nggak sreg sama pilihan cover, mbok ya ngomong aja," kataku lelah. "Bukannya tiba-tiba nge-ghosting, terus berminggu-minggu kemudian muncul pakai chat panjang bilang udah punya alternatif cover yang lebih oke."

Kepala Adit mengangguk.

"Itu gue udah nge-chat sama penulisnya bolak-balik, tapi nggak direspons. Gue ditanyain bagian desain cover, ada revisi atau nggak. Gue juga ditanya sama koordinator dan pemimpin redaksi, bagian produksi—semuanya kan punya timeline masing-masing. Kan, yang berkepentingan bukan cuma si penulis, atau gue doang," cerocosku panjang-lebar. "Kalau ngaret, sebenarnya nggak apa. Tapi kasih kabar gitu. Bukan chat gue dikacangin. Ya masa gue bilang di-ghosting penulis? Ya emang di-ghosting penulis itu bukan hal baru. Gue ngalamin beberapa kali. Tapi beda konteksnya. Waktu brief pertama kali, dia bilang nggak punya kenalan jasa cover. Kalau gitu kan, berarti dia setuju pakai desainer dari kantor. Tapi begitu dikasih pilihan, malah ngilang. Lo sendiri tau kan gimana pusingnya kalau kena ghosting--"

"Gue kena ghosting lo aja pusing, Res." Dia menyela sambil terkekeh pelan.

Bibirku langsung tertutup.

Aku sengaja mengalihkan pandangan ke sisi lain apartemen untuk menyembunyikan semburat merah yang pelan-pelan menjalar.

"Sial, gue bukannya pengin niat ungkit soal itu," gerutuku masam. Setelah cukup lama, aku baru kembali menatapnya. "Sori ya. Gue beneran nggak niat ghosting lo."

"That's okay," Dia bersandar santai pada sandaran sofa. Sudut bibirnya terangkat. "Gue juga sebenarnya nggak mau ungkit itu. Tapi di-ghosting itu emang nggak enak," katanya seraya memandangku sejenak. Kedua tangannya diletakkan di belakang kepala. "Terus, solusinya gimana?"

Bahuku sontak merosot. "Gue terpaksa ngomong ke koordinator gue," ucapku seraya ikut bersandar di sofa.

Bayangan koordinatorku yang tidak santai lagi, mendadak terbersit di benakku. Hari ini anak-anak redaksi seolah sedang diuji kesabarannya. Wajah koordinatorku masam nyaris hampir sepanjang hari. Dia memang tidak komen, tapi aku tahu ada yang tidak berkenan. Wajahnya praktis baru sedikit lebih rileks begitu jam bubar.

Padahal bagian redaksi fiksi paling jarang pulang tenggo. Selain biasanya masih ada kerjaan yang tanggung, ada juga yang nunggu jalanan tidak macet atau transportasi umum tidak terlalu desak-desakan. Nah, tapi koordinatorku tadi pulang beneran tenggo. Tanpa pamitan dengan semua orang.

The Emergency BoyfriendTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon