22. Untold Story

907 186 27
                                    

Triggered Warning! Bagian ini mengandung narasi atau deskripsi yang bermuatan konten sensitif. Diharapkan kebijakan pembaca. 

P.S. chapter ini sangat, sangat panjang. Bare it with me, guys! 

***

Resti: aku tunggu di lobi, ya.

Battery Power 15%

Charge your phone.

Aku refleks memaki pelan ketika notif itu nongol.

Kepalaku mulai celingukan, berharap menemukan stopkontak untuk mencolokkan kabel charger. Tampaknya lobi gedung kantor ini kelewatan mewah. Saking mewahnya, aku sama sekali tidak melihat tanda-tanda keberadaan stopkontak pada dindingnya yang berlapis marmer dingin.

Setibanya di kantor Adit tadi, aku bertemu lagi dengan si satpam yang waktu itu menegurku. Dia mengacungkan jempol lantaran kali ini aku tidak ngemper di undakan, melainkan masuk ke lobinya.

Rasa insecure itu beneran ada begitu embusan sejuk AC menyambutku tatkala memasuki lobi.

Lobi gedung kantor itu keren banget. Maklum, itu salah satu gedung keren di bilangan SCBD. Langit-langitnya tinggi dengan banyak jendela. Kalau siang-siang pasti tempat ini banjir oleh cahaya matahari. Dinding dan lantainya saja dari marmer. Sementara lampu yang tak kalah mewah menjuntai-juntai dari langit-langit.

Lobi itu tenang dan harum. Entah karena ini sudah malam atau memang selalu begini.

Sambil menarik napas, aku mengecek jam tangan. Hampir pukul delapan malam. Perutku mulai protes minta diisi.

Sejak Sabtu lalu, Adit tidak merespons chat atau menjawab telepon dariku. Chat-ku tidak dibalas. Teleponku juga tidak dijawab. Jujur saja, itu bikin aku tidak tenang. Jam tidurku berantakan. Mood-ku amburadul. Apalagi setelah mendengar cerita Restu.

Kalau boleh jujur, aku memang kaget dan bingung mendengar cerita Restu. Apalagi di bagian lagu Enchanted. Aku merasa perlu menanyakannya kepada Adit.

Terlepas dari itu semua, aku juga tidak muluk-muluk berharap dia clean tanpa mantan. Toh, aku sendiri juga punya mantan delapan tahun.

Perutku kembali menyuarakan protes. Refleks, aku memegangi perut untuk menahan rasa lapar yang kian menggila. Apalagi suhu lobi itu mendadak menurun drastis hingga membuat tubuhku mulai kedinginan.

Kemudian, suara denting lift menarik perhatianku. Salah satu kubikelnya terbuka dan sosok yang kutunggu-tunggu keluar dari lift itu. Wajah dan kemeja garis-garis yang dipakainya sama-sama kusut.

Melihat itu, hatiku mencelos.

"Res!"

Aku buru-buru beranjak dan menghambur ke dalam pelukannya. "Kamu ke mana aja, sih? Kenapa chat-ku nggak dibales? Teleponku juga nggak diangkat!" serbuku tanpa tedeng aling-aling.

"Sori, sori. Maafin aku, Res." Adit memelukku dengan erat sambil mengecup kepalaku berulang kali sambil menggumam kata "maaf".

Pelan-pelan rasa lega mulai membanjiriku. Lantas, aku menarik diri dan memandanginya.

"Aku bingung. Kamu nggak ada kabar!" omelku.

"I know, I'm so sorry. Aku nggak bermaksud nge-ghosting kamu. Aku tau kamu pasti dengar cerita tentang aku dari Restu. I just need a little time to think. Terus... aku takut ketemu kamu."

"Aku kan nggak bakal makan kamu! Emangnya aku Godzilla?! Kenapa kamu malah takut ketemu aku?"

Adit merangkum wajahku dan menyatukan kening kami. Matanya memejam. "Nggak gitu. Aku takut kamu nggak melihatku kayak biasa lagi," ucapnya lirih.

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now