27. Gara-gara Seblak

805 162 8
                                    

Aku menarik kata-kataku.

Makan seblak selama satu minggu bukan gagasan tepat. Belum sampai seminggu, pencernaanku sudah berantakan. Perutku mulai mulas-mulas pada hari kelima. Dari subuh tadi, aku sudah bolak-balik ke toilet untuk buang air. Badanku pun lemas sejadi-jadinya. Saking lemasnya, aku terpaksa izin tidak masuk kantor kepada Mbak Vida.

"Kalau nggak kuat, mending lo ke klinik aja, deh!" saran Restu begitu melihatku keluar-keluar dari toilet dengan langkah gontai.

Begitu tahu aku yang bolak-balik ke toilet, dia juga ikut izin tidak ke kantor. Katanya, mendingan remote daripada tidak bisa tenang di kantor. Tadinya, kupikir dia lebay banget. Toh, ini gara-gara keseringan makan seblak. Namun di sisi lain, Restu bersikeras mau menjagaku.

"Nanti, deh..." jawabku lemah kemudian mengempaskan tubuh di sofa ruang tengah. Perutku kembali berbunyi kruk-kruk-kruk yang meresahkan. Padahal kalau ke toilet, aku yakin tidak bakal keluar apa-apa.

Lantas, aku melirik Restu yang pakai masker. Dia duduk di sofa sementara perhatiannya tertuju ke layar laptop yang menampilkan slide presentasi buatannya.

Gara-gara sering bikin seblak, apartemen ini otomatis wangi seblak. Restu sudah mencoba mengeluarkan baunya dengan cara membuka pintu kaca yang menuju balkon apartemen. Seolah belum cukup, Restu juga menyalakan air purifier. Kelihatannya dia benar-benar effort untuk menghilangkan wangi seblak yang terasa menempel di seantero apartemen dua kamar akhir-akhir ini.

Sayangnya, masih ada wangi seblak yang tertinggal.

Seketika aku dicubit rasa bersalah.

Barangkali mulas-mulas ini karma akibat dari kesotoyanku makan seblak beberapa hari terakhir. Meski tidak melulu pedas banget, tapi tetap saja ada cabainya.

Padahal dulu Tante Emma sering mewanti-wanti agar aku tidak kebanyakan makan cabai biar tidak bikin pencernaan kacau. Pasalnya, makan tanpa sambal, cabai atau rasa pedas, entah kenapa rasanya ada yang kurang-kurang gimana gitu.

"Tu," panggilku.

"Hm?"

"Kenapa waktu itu lo mesti nonjok Adit, sih?"

Restu menghela napas panjang. Dia mengangkat wajah dari laptop dan memandangku. "Lo sendiri kenapa nggak bilang-bilang pacaran beneran sama Jamet?" balasnya sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.

Bibirku mencebik. "Gue yang nanya duluan, Tu!"

"Gini, Res. Gue tau lo ngalamin patah hati gara-gara Patra. Tapi bukan lo doang. Gue juga. Gue udah berharap banyak banget sama Patra. Begitu tau dia selingkuh, gue kesel mampus. Gue pengin ngehajar dia tapi gue tau lo nggak bakal ngebolehin gue. Dalam hati gue, yah, gagal banget gue jadi kakak. Nggak bisa melindungi adik gue sendiri," bebernya panjang-lebar. "Jadinya gue yang malu. Masa, gue nggak tau, sih, adik gue pacaran sama cowok berengsek? Gue sebagai kakak dan cowok juga dipertanyakan. Masa menilai kayak gitu malah nggak bisa? Apalagi hubungan lo udah delapan tahun sama si Patra. Gue ngapain aja selama itu?"

Aku terenyak. Kepalaku tertunduk. Tidak mengira Restu bakal mengutarakan keluh-kesah yang selama ini dipendamnya.

"Gue bukannya nggak setuju lo pacaran sama Jamet. Gue kaget lo pacaran beneran sama dia. Soalnya gue taunya lo berdua cuma fake dating apalah semacam itu," lanjutnya.

"Gue emang awalnya emang fake dating," aku mengangguk.

"Terus gimana lo berdua malah pacaran beneran? Lo bukannya mau santai dulu?"

Aku langsung menggigit bibir. "Gue tau Adit tipe yang gampang bikin orang klepek-klepek. Mulai dari caranya ngomong, bersikap—"

"Lo nggak pernah mikir dia gitu karena sekadar tebar pesona aja?"

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now