17. Undangan

903 166 26
                                    

"Itu hape mau dipelototin berapa lama, woi!" ledek Mia geli. Kepalanya geleng-geleng, tak habis pikir. "Kenapa? Dikta KW nggak bales chat lo?"

Mataku spontan mendelik malas ke arahnya.

Dasar Mia sialan! Bibirnya itu suka banget sih nyerocos. Ngeselinnya, cerocosan Mia bisa on point gitu, lho!

Aku meletakkan ponsel ke atas meja dan menghela napas. "Nggak gitu," kilahku seraya menatap kembali laptop berisi naskah editan yang sedang kutangani.

Boro-boro balas chat, aku bahkan tidak mengonteknya sejak hari itu.

Perlu diakui, tingkahku ini memang konyol dan kekanak-kanakkan. Seandainya Mia tahu, dia pasti geregetan setengah mampus. Mungkin perasaannya hampir sama seperti ketika membaca cerita seru di platform yang mendadak digantungin sama penulisnya.

In my defense, aku masih butuh waktu untuk berpikir.

Pertanyaan Adit bukan pertanyaan kaleng-kaleng. Itu tipe pertanyaan yang bikin orang overthinking. Kalau statusku tidak habis menjalani hubungan dengan siapa-siapa atau abis diselingkuhi pacar, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk menjawab pertanyaannya.

Plus, aku juga ingin tahu maksud Adit ngomong gitu.

Sejak malam itu, banyak pertanyaan berkecamuk di benakku. Kenapa dia ngomong begitu? Apakah dia merasakan sesuatu atau sparks yang muncul? Atau, dia ngomong hanya sekadar menegaskan bahwa dia bukan tipe yang setengah-setengah?

Meski aku melihat adanya sparks, aku tidak berani berspekulasi Adit juga melihat yang sama.

Terlalu berspekulasi kadang bisa menjebloskan seseorang ke jurang bernama ekspektasi. And that's freaking dangerous.

"Eh, Mi. Lo nanti jadi ngambil dummy?" Akhirnya, aku mengalihkan topik.

Mia menyesap dari tumblernya, lalu mengangguk. "Jadi. Kenapa?"

"Tolong tanyain Mas Bayu, dong. Soal dummy buku Unconditionally Marriage. Kalau udah ada nitip bawa ke sini dong, Mi. Gue mau cek dulu sebelum produksi."

Jempol Mia teracung.

Setelah itu, aku kembali memusatkan perhatian ke laptop. Kutarik napas dalam-dalam untuk menepis masalah Adit untuk sementara. Di hadapanku sekarang masih ada naskah yang mesti selesai diedit sebelum minggu ini berakhir. Artinya, waktu efektifku hanya tinggal empat hari untuk naskah yang masih jauh dari kata "oke" untuk dioper balik ke penulisnya.

Kepalaku tiba-tiba pening.

Deadline-ku sebentar lagi. Tetapi bisa-bisanya aku malah ngegalauin yang tidak penting. Untung Mbak Vida lagi turun untuk mengambil delivery kopinya di lantai bawah. Seandainya koordinatorku itu melihatku galau tidak penting gini bisa berabe.

"Restiiiii!"

Aku langsung terlonjak. Mataku membola mendengar suara Mbak Vida yang tiba-tiba membahana.

"Resti mana, Resti?!" Mbak Vida masih mencerocos meski sosoknya sudah nongol dekat mejaku. Padahal aku jelas-jelas berada di hadapannya dengan jarak kurang dari satu meter.

Jantungku mulai cekat-cekot. Mataku diam-diam melirik hasil editanku yang progresnya masih tidak seberapa dibandingkan beberapa saat lalu.

Alih-alih menagih naskah maupun progres naskah kayak biasa, perempuan mungil berambut ikal dan berkacamata itu justru menyodorkan sebuah boks persegi panjang yang literally panjang kepadaku.

Mataku berkedip cepat. "Ini apa?"

Wangi khas pizza terendus dari boks yang kini sudah berpindah ke tanganku. Meski sudah lewat jam makan siang, tapi ini sudah memasuki waktu Indonesia bagian mencari jajanan. Alias, jam-jam rawan pengin jajan.

The Emergency BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang