24. Restu Tahu

873 189 16
                                    

Aku mati-matian menahan tawa melihat wajah bingung Adit begitu mendengar nama makanan yang disebut si Mamang. Lantas, Adit memandangku untuk mencari bantuan, tapi aku malah menyuruhnya agar bertanya lagi kepada si penjual yang sibuk di balik gerobak dengan etalase kaca.

"Maaf, Mang. Saya agak budek dikit, nih. Tadi nama makanannya apaan?" ucap Adit dengan polosnya.

"Doclang," respons si penjual terkekeh.

"Bacang?"

"Ya Allah, Doclang!"

"Oalah. Doclang? Iya, kan?" Adit tertawa, malu sendiri. Dia menatapku dan si Mamang secara bergantian. "Tadi Doclang ya, Mang?" tanyanya memastikan.

Tanganku buru-buru menepuk-nepuk Adit sambil tertawa. "Iya. Doclang. Bener, kok," kataku meyakininya.

Adit pun ber-oh-ria. Kepalanya manggut-manggut paham. Kemudian dia memandangku lamat.

"Kamu sering ke sini, ya?"

"Kalau lagi liburan ke rumah Om dan Tante aja, sih," kataku jujur.

Kadang aku dan Restu suka mengunjungi Om dan Tante Tanureja. Hitung-hitung sekalian liburan tipis-tipis. Juga kalau ke sini, aku menyempatkan diri jalan-jalan ke Jembatan Merah.

Jembatan Merah sering dikenal sebagai tempat kulinerannya kota Bogor kalau malam-malam begini. Banyak tempat jajanan dibuka dan ramai juga. Salah satunya, penjual Doclang yang sedang kubeli bareng Adit.

Karena malam mingguan, Jembatan Merah ini kelihatan lebih ramai dari hari biasa. Tadi Adit dan aku agak kewalahan mengarungi lautan orang-orang demi ke tempat penjual Doclang ini.

Tak lama, Mamang menyerahkan dua porsi Doclang yang baru selesai dibuatnya. "Aa dan Eneng dari Jakarta?"

"Ketahuan banget noraknya ya, Mang?" balas Adit seraya tertawa.

"Yah, biasanya orang-orang Jakarta emang jarang ada yang tau soal Doclang, tapi alhamdulillah, agak ramai sejak ada food vlogger gitu yang ke sini," terang si Mamang. "Doclang itu artinya Ledok Nganggo Kacang(*)."

Adit ber-oh-ria dan memandangi makanan di piringnya. "Ini lontong, Mang?"

"Bukan, itu ketupat. Terus, disiram bumbu kacang. Ketupatnya dibungkus daun patat."

"Hah?" Lagi-lagi Adit memasang tampang bingung. Matanya sampai tak berkedip setelah mendengar ucapan Mamang.

"Patat, Dit. P-A-T-A-T." Aku terkikik. Yakin banget di benak Adit pasti munculnya "yang lain". Kemudian, aku menepuk-nepuk bahunya. "Udah, jangan dibahas mulu. Nanti kita nggak makan-makan, nih!"

"Bener, Neng!" Mamang pun kembali sibuk melayani pengunjung lain yang berdatangan.

Aku kembali memperhatikan Adit yang masih sibuk meneliti makanan di piringnya. "Lama-lama kamu pelototin, itu ketupatnya bisa kabur lho, Dit," cetusku geli.

"Ngeri juga kalau bisa kabur beneran," komentar Adit terkekeh pelan. "Tampangnya agak mirip ketoprak, ya."

Aku mengangguk.

Sepintas tampilannya memang agak mirip ketoprak. Bedanya, Doclang tidak pakai lontong melainkan ketupat. Dalam sepiring Doclang biasanya ada ketupat, tahu, kentang, dan kadang ada tambahan telur bagi yang suka.

Mia juga pernah bilang gitu. Malah, dia bersikeras Doclang adalah ketoprak. Kalau lagi malas berdebat, aku hanya mengiyakan dengan bilang ketoprak khas Bogor. Biar cepat saja.

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now