30. Sampai Ke Ujung Dunia

762 132 6
                                    

Dyah dan Adit mengobrol di teras balkon, kata Restu.

Sementara itu orang-orang seolah ada perintah tak langsung, memilih turun dan memenuhi lantai satu vila. Aku juga ikut turun. Tetapi perasaanku gelisah. Tidak tenang.

Bolak-balik, kepalaku menengadah dengan harap-harap cemas. Aku berharap bisa mendengar suara dari orang-orang di lantai dua. Sayangnya, nihil. Sambil menahan rasa gelisah, aku bertanya-tanya apakah Adit dan Dyah benar-benar mengobrol atau justru peluk-pelukan melepas rindu.

"Minum dulu, Ti." Mia muncul seraya menyodorkan secangkir minuman. Dia duduk di sebelahku seraya menyesap minuman dari gelasnya. "Tadi itu siapanya Dikta KW?" tanyanya kemudian.

"Mantannya."

"Serius? Wow, gila juga dia nyusul Adit sampai sini," komen Mia.

"Gue bingung gimana Dyah bisa nyusul," responsku pelan-pelan menyesap teh hangat. Sementara mataku perlahan melirik ke arah dapur, tempat di mana Restu tengah mengobrol dengan Angga.

Om Damar dan Tante Emma sudah pulang duluan. Katanya, Tante Emma ada acara arisan yang tidak bisa diabaikan sore nanti. Info itu sempat menghiburku beberapa saat lalu sampai kepergian Om dan Tante Tanureja. Namun begitu masuk ke dalam vila, rasa penasaran dan cemas bergantian menyergapku.

Gimana Dyah bisa nyusul?

Darimana perempuan itu tahu Adit ke tempat ini?

Apa yang diinginkan perempuan itu sebenarnya?

Lantas, aku mengganti posisi duduk. Aku tak bisa duduk tentang dari tadi meski sofa yang tengah kududuki empuknya bikin pewe. Smart TV yang menyala di hadapanku menampilkan tayangan film Mencuri Raden Saleh. Tidak peduli betapa menariknya film itu, tapi aku masih tak bisa konsen.

"Kalau kata Angga, tadi ada satu mobil baru. March warna kuning. Angga bilang kemungkinan itu punya mantannya Dikta KW," kata Mia kemudian.

"Gue nggak peduli merek mobilnya, Mi," tukasku tajam. "Gue mau tau gimana perempuan sialan itu bisa tau Adit di sini!"

"Nggak usah galak-galak sama Mia gitu, Ti," tegur Restu ikut nimbrung. Dia menghampiriku dan duduk di pegangan sofa. Sementara Angga duduk di sebelah Mia. "Gue sama Angga juga tadi diskusi soal Dee."

Aku menahan geraman mendengar nama Dyah.

Restu memanggilnya dengan sebutan Dee. Sedangkan Adit memanggil dengan sebutan Didi. Perempuan itu kedengaran sebegitu spesialnya. Entah kenapa, itu membuatku agak cemburu.

Lantas, aku mendongak. "Lo naksir sama Dyah, ya?" tembakku.

"Yakali?" Mata Restu kontan melotot. "Gue nggak bilang ya, gue naksir Dee."

"Lo manggil dia pake Dee, Tu! Adit panggil dia pake Didi! Kalian berdua punya panggilan masing-masing buat cewek itu!" seruku tak mau kalah.

"Bukan berarti gue naksir ya, Ti!" bantah Restu serta-merta. "Kalau masalah Adit, kan, emang mereka berdua punya masa lalu. Jelas aja punya panggilan masing-masing. Kalau perkara Dee, temen-temennya juga manggil dia gitu."

"Oh ya? Terus, gimana cewek itu bisa di sini?"

"Gimana...?" Restu terperangah. Matanya menatapku tanpa berkedip. "Lo nuduh gue yang ngasih tau Dee soal staycation lo sama Adit???"

"Ti, lo lagi overthink. Nggak mungkin Restu kasih tau cewek itu soal staycation lo sama Adit," ujar Mia kalem.

"Bener. Di grup juga nggak ada dia." Angga menimpali.

"Terus, kalian nggak penasaran gimana cewek itu bisa muncul? Atau, kalian nggak peduli sama sekali cewek itu bisa muncul entah dari mana?"

"Bukan gitu maksud kami, Ti. Kami juga cuma bisa berduga-duga aja. Kecuali mantan Dikta KW itu mau ngomong gimana bisa tau vila ini."

Aku menghela napas kasar.

"Gue menghargai privasi lo sama Adit, Ti. Mana mungkin, sih, gue kasih tau Dee soal rencana staycation lo berdua? Apalagi gue tau rencana itu jatuh pas kita ulang tahun." Restu menambahkan. "Gue justru maunya lo hepi-hepi ajalah sama Jamet!"

"Lo mau gue hepi-hepi tapi lo nyelipin semprotan merica ya, Tu!"

"Itu tindakan jaga-jaga, Ti! Demi Tuhan!"

"Oh, ya. Gimana kalau kita potong kuenya?" usul Mia menengahi bibit-bibit baku hantamku dan Restu. "Kan, tadi udah ditiup juga lilinnya. Jadi bisa dipotong, kan?"

"Boleh juga," angguk Angga setuju lalu menatap orang-orang secara bergantian. "Tadi kuenya ada yang bawa turun, nggak?"

Refleks saja, aku beranjak dari sofa. "Kayaknya masih di lantai dua. Gue aja yang ambil," kataku cepat.

Sebelum diprotes, aku melesat sesegera mungkin menuju lantai dua. Kakiku melangkah seringan mungkin agar tidak menimbulkan suara. Sementara dalam hati, aku berharap samar-samar bisa mendengar obrolan Adit dan Dyah di balkon.

Sesampainya di lantai dua, aku langsung menemukan kue tart di atas meja pendek tak jauh dari pintu kaca balkon. Senyumku merekah. Posisinya strategis untuk dengar-dengar obrolan dua orang yang masih saja berada di balkon.

Perlahan-lahan, aku mendekati meja itu. Lalu memasang telinga.

"Dit," Dyah menyebut nama Adit. "Aku udah bilang sama kamu. Aku nyesel sama keputusanku tahun lalu. Aku terlalu gegabah. Kamu tau targetku menikah usia 25."

"Targetku juga menikah usia 25, Di. Tapi keadaannya waktu itu nggak memungkinkan. Kamu ada ikatan dinas. Tabungan aku belum ada. Kita sepakat pending sampai tabunganku cukup. Kamu tau risiko kalau aku nikah sama kamu, artinya aku yang mesti menanggung semua biayanya," beber Adit. "Kamu anak tunggal. Aku anak pertama. Nggak mungkin kita resepsi kita biasa-biasa aja. Walau orangtuaku boleh-bolehin aja, kita sama-sama tau, jawaban orangtuamu pasti beda. Aku udah jumpalitan bikin tabungan. Aku pikir it's enough sampai kamu tiba-tiba pergi terus balik-balik malah bilang udah tunangan."

"Dit, aku nyesel. Aku nggak jadi nikah sama orang itu."

Seketika itu tubuhku seperti disengat listrik. Jantungku berdebar lebih cepat dari sebelumnya sementara menatap pintu kaca dengan kecemasan yang kian berlipat ganda.

Kenapa Adit tak kunjung merespons?

"Kenapa?" Suara Adit terdengar rendah dan serak.

"Ya ampun, kamu masih nanya juga? Padahal aku udah sengaja nyusul kamu, Dit. Aku nggak peduli walau pagi subuh tadi kamu udah nolak aku karena mau ada acara sama pacar kamu—"

Tanganku menutup mulut. Adit yang memberitahu Dyah?

"Aku tau ini nggak cukup buat menebus kesalahanku sama kamu setahun lalu, tapi nggak ada yang bisa gantiin kamu, Dit," lanjut Dyah terdengar nyaris putus asa. "Kalau aku harus ngejar kamu sampai ujung dunia, aku jabanin, Dit."

Aku terduduk di lantai itu dengan rasa tak percaya. Dadaku mulai sesak. Pasokan oksigen di situ tiba-tiba terasa menipis. Napasku terasa berat. Pandangan mataku juga mulai kabur.

Tak ada lagi suara Dyah maupun Adit. Hanya tersisa ucapan Dyah yang terngiang-ngiang di benakku tanpa permisi.

Kalau aku harus ngejar kamu sampai di ujung dunia, aku jabanin, Dit.

Kemudian pandanganku berubah gelap. 

*** 

[15.11.2023]

thank you for reading! ^^ 

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now