34. The Contingency Plan

975 150 11
                                    

"Sekalian ya, Dit. Caffe latte."

Gue baru mau menyebutkan pesanan kopi waktu ucapan Prajna menyambar. Sosoknya entah sejak kapan sudah berdiri di sebelah gue. Tangan dan perhatiannya tertuju pada ponsel di tangannya.

Selesai menyebutkan pesanan, gue mengarah ke bagian pick up. Prajna mengekori.

"Gimana hubungan lo sama Resti? Ada kemajuan?" tanyanya sambil memasukan ponsel ke dalam tasnya.

"Lo baru nyampe?"

"Iya. Tadi agak telat."

"Lo nginep tempat Agharva lagi?"

"Nggak. Kali ini gue beneran kesiangan, Aditama Primandaru." Wajah Prajna bersemu. Meski begitu, sudut bibirnya tertarik sedikit. "Jadi, gimana? Udah baikan? Atau, boleh gue asumsikan lo belum action sama sekali?"

Gue nggak berkomentar. Bukan karena nggak mau share apa-apa kepada Prajna. Lebih tepatnya, gue merasa makin bingung.

Saat kopi yang dipesan muncul, Prajna mengambil alih semua pesanan dan menunjuk sebuah meja tak jauh dari coffee shop tak terlalu besar yang ada lobi gedung kantor. "Ke situ dulu. Kita ngobrol. Atau, lo curhat, deh. Kayaknya lo butuh pendengar."

Gue nggak bisa membantah. Barangkali gue memang butuh pendengar. Walau kopi bisa bantu untuk menjernihkan otak gue yang agak berkabut beberapa hari terakhir. Saat duduk di meja bundar itu, Prajna menyodorkan gelas kopi gue.

"Perhatian banget beliin gue croissant!" Prajna tertawa. Kepalanya geleng-geleng. Dia mengeluarkan ponsel dan menjepretnya. "Harva mesti tau soal ini!"

"Dia nggak beli sarapan buat lo hari ini?"

"Nggak. Dia ada aanwijzing."

Sementara Prajna sedang melancarkan aksi bikin pacarnya panas-dingin, gue pilih menyesap kopi. Walau sudah jadi kopi langganan tiap pagi, tapi gue jarang duduk-duduk di mejanya. Gue nggak melihat ada keuntungan duduk-duduk di coffee shop itu apalagi sendirian. Tapi ternyata, nggak seburuk itu juga duduk-duduk di meja ini sambil lihat orang-orang berdatangan dengan berbagai macam raut wajah di Senin pagi.

Minimal, gue tahu bukan gue aja yang merasa Monday is sucks. Apalagi Sabtu kemarin sudah dibikin galau berat sama pacar sendiri.

"Kalau boleh gue tanya, kenapa lo belum take action juga, Dit?" tanya Prajna sejurus kemudian.

"Gue ketemu Resti hari Sabtu kemarin." Gue bercerita dengan nada pelan. "Tapi gue merasa langkah yang gue ambil selalu salah, Pra."

Dahi Prajna berkerut. "Kenapa gitu?"

"Soalnya tiap kali gue ngomong, everything seems wrong. Paling banter Resti respons sekenanya, atau paling sering gue malah kena skakmat."

"Resti marahnya lama juga. Seandainya di posisi yang sama, mungkin gue juga gitu, sih—no offense, Dit."

"None taken."

Sumpah, gue sudah nggak bisa lagi baper-baper. Omongan Prajna memang valid. Gue yang bodoh di sini.

"Terus, rencana selanjutnya apa? Lo mau nggak take action berapa lama?" berondong Prajna. "Atau... lo pengin udahan aja sama Resti?"

Gue terdiam.

Bayangan "kelar" sama Resti itu nggak pernah ada di benak gue sebelumnya. Namun, gue baru tau efeknya bisa semengerikan ini. Tanpa Resti ngomong sama gue akhir-akhir ini saja sudah bikin uring-uringan.

"Ngomong-ngomong, chat gue dibales sama Harva," lanjut Prajna tiba-tiba. Seringaiannya terulas polos tanpa dosa. "Dia nanya lo balik lewat mana?"

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now