7. Keputusan & Risiko

1.4K 224 14
                                    

Aditama Primandaru is calling...

Senyumku merekah begitu nama tersebut muncul di layar ponsel. Tanpa berlama-lama lagi, aku langsung menekan ikon telepon warna hijau.

"Hai," sapaku.

"Hei juga, Pacar Darurat."

Kali ini, tawaku tersembur tanpa bisa ditahan. Aku menjepit ponsel dengan bahu sementara jemariku mengetik cepat di atas tuts keyboard laptop.

Ada satu deadline yang mesti kupenuhi hari ini. Namun jumlah halaman naskah yang masih harus diperiksa terlihat masih banyak. 150-an halaman lagi.

Akhir-akhir ini lumayan banyak novel penulis lokal yang dialih wahanakan alias dibikin film atau serial. Ada yang bentuk film bioskop, atau ada yang muncul di platform menonton online. Beberapa jam lalu, aku habis mengobrol banyak tentang salah satu naskah remaja yang pernah kutangani dan rupanya menarik minat orang-orang dari production house.

"Lagi di mana?" Adit bertanya lagi. "Ngomong-ngomong, belum 24 jam ya. Jadi kita belum putus."

Bibirku terkulum. Sementara kepalaku celingukan sejenak. "Gue lagi di coffee shop di sekitaran Kuningan, nih. Tadi abis ke production house."

Dan, yah, tanpa diberitahu, aku juga menghitung dalam hati. Hubungan darurat ini belum sampai 24 jam. Namun sepertinya Adit benar-benar tipe orang yang tidak mau setengah-setengah membantu orang.

Dia bertingkah layaknya pacar beneran. Sedangkan aku bertingkah seperti remaja yang pertama kali jatuh cinta.

"Sendiri?"

"Yap."

"Padahal kalau ngomong, gue bisa nyusul, lho. Dari kantor gue ke Kuningan kan nggak jauh-jauh amat. Tinggal ngesot!"

"Emang mau?" tantangku, sengaja. "Eh, bentar. Gue belum bilang makasih karena udah mau pura-pura jadi pacar gue."

"Kenapa nggak mau? Kan, belum putus," ujar Adit enteng. Kemudian, "Don't mention it, Res. Tapi mantan lo masih ganggu, nggak?"

"Kayaknya masih terlalu pagi buat menyimpulkan. Dia sibuk. Ini juga hari Senin. Harinya orang-orang sibuk, kan? Mestinya kantor lo juga sibuk, Dit."

"Di kantor boleh sibuk, tapi selalu ada prioritas."

"Oh? Jadi gue ada sebagai salah satu di daftar prioritas lo?"

"Ya iyalah. Meski statusnya cuma 'Pacar Darurat', lo masuk ke daftar prioritas gue, Res," jawab Adit mantap. "Tanpa status itu, lo juga masuk ke daftar prioritas. Paling beda nomor urut aja sama status 'Pacar Darurat' ini. Pacar duluan."

Refleks, aku mengumpat dalam hati.

Seandainya di hadapanku ada cermin, aku pasti bisa melihat wajahku yang semerah tomat gara-gara ucapan Adit barusan. Halus banget! Saking halusnya, kadang aku merasa yang kulalui bersama Adit terasa... gampang.

Way too easy. Kadang saking terasa gampangnya, aku jadi gampang terbawa suasana. Itu agak ngeri-ngeri sedap, sih.

"Dit," panggilku setelah diam lumayan lama. "Kok, bisa sih lo masih jomblo?"

Seketika itu juga terdengar suara batuk Adit. Lelaki itu terbatuk-batuk keras. Tampaknya tidak menduga pertanyaan yang kulempar barusan.

Sebenarnya, aku juga tidak berencana kepo tentang kehidupan pribadi Adit. Namun karena lelaki itu bersedia membantuku, mau tak mau aku harus menggali sedikit tentang kehidupan pribadinya.

Adit ternyata masih jomblo. Dan, mengetahui dia yang masih jomblo itu seperti oase.

"Kenapa lo mikir gue udah nggak jomblo, Res?" balas Adit setelah mengontrol batuknya. Dia berdeham beberapa kali.

"Eh, itu curang!" Alisku menyatu. "Gue kan nanya lo duluan. Pertanyaan nggak bakal terjawab kalau dijawab dengan pertanyaan lain!"

"Hng, mungkin karena gue belum nemu the one," jawab Adit akhirnya. "Sekarang giliran gue. Kenapa lo mikir gue udah nggak jomblo?"

"Lo ganteng." Aku jujur.

Dia tertawa. "Gue nggak seganteng itu."

Otomatis aku memutar bola mata. "Lo ganteng dan itu fakta. Modal gitu mestinya sih nggak susah buat nyari pasangan. Lo juga nggak pernah setengah-setengah, sweet talk, dan gue curiga lo borong semua love language."

"Buset, rakus banget diborong semua!"

"Lo jemput gue hari Minggu. Itu aja act of service. Waktu gue minta pura-pura jadi pacar gue, lo juga nggak segan-segan merangkul gue masuk ke kafe lagi, ngegandeng tangan gue, atau puk-puk kepala gue. Bisa masuk kategori physical touch. Gue emang belum dapat apa-apa dari lo buat bukti receiving gifts—"

"Sebenarnya gue baru mau ngirim donat ke kantor lo. Tapi lo di luar kantor," sela Adit.

"No kidding?! Ngapain lo kirimin gue donat? Mau resign?"

Lagi-lagi Adit tertawa. "Sialan. Bukan karena gue mau resign!" gerutunya spontan. "Karena lo Pacar Darurat gue. Ya udah, gue mau kirim sesuatu buat lo. Just to cheer you up, kali-kali baru mengalami bad day. Atau—eh, sebentar, Res."

See?

Mungkin Adit memang borong semua love language, tapi cuma pengin merendah. How modest.

Selagi menunggu, aku hanya mendengar suara samar Adit yang bercakap-cakap dengan istilah yang tidak kupahami.

"Res?"

"I'm right here." Aku menyahut. "Lo kerja di bagian apa sih, Dit? Kayaknya ucapan yang keluar dari mulut lo dewa banget! Sampai cengo gue dengerinnya."

Dia tertawa pelan. "Gambaran simpelnya gini, tiap keputusan pasti ada risikonya, kan? Entah itu risiko jangka panjang atau jangka pendek. Nah, kerjaan gue tuh ngurusin agar nggak terjadi risiko-risiko yang nggak diinginkan yang pengaruhnya gede hingga bisa merugikan."

"Berarti lo juga tau risiko kalau pura-pura jadi pacar gue, Dit?" tanyaku spontan.

"Risiko yang lo maksud Restu?" tebak Adit straight to the point. "Iya, gue tau, kok. Mumpung lo bahas, gue juga perlu tanya sesuatu sama lo. Restu tau soal ini?"

Kepalaku sontak menggeleng. "Nggak. Dia nggak tau. Gue emang nggak berencana kasih tau juga karena dia pasti nggak bakal santai, Dit," beberku cepat. "Lagian, ini juga darurat. Emergency. Gue juga bilang cuma 24 jam."

Toh, setelah 24 jam, statusku dan Adit balik lagi kayak biasa.

"Oh, ya. 24 jam aja, ya."

Perasaanku saja atau intonasinya terdengar sedih atau kecewa? Tetapi entah gimana, aku juga merasa agak sedih dan... mendadak sedikit takut.

Setelah itu, Adit menyudahi sesi teleponan kami. Dia bilang ada yang mesti dikerjakannya. Aku pun mengiyakan tanpa berharap lebih.

Alih-alih melanjutkan naskah yang sedang kuedit, aku malah mengalami zoning out di Djournal.

Ucapan Adit terngiang-ngiang kembali.

Tiap keputusan memang punya risiko. Termasuk, ketika aku memutuskan minta bantuannya pura-pura jadi pacar baruku. Saat itu aku hanya mikirin diriku yang bisa bebas dari Patra.

Honestly, it works. Kemarin Patra pergi begitu tak punya kesempatan mendekatiku.

Sayangnya, aku tidak memikirkan risiko bisa lost contact dengan Adit gara-gara permintaanku yang aneh bin ajaib. Great... 

*** 

-somewhere beyond the sea, 25 Agustus 2023

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now