8. Enchanted

1.2K 238 30
                                    

This was the very first page

Not where the storyline ends

My thoughts will echo your name

Until I see you again

These are the words I held back

As I was leaving too soon

I was enchanted to meet you*

"Restiiiiii!!!" Suara menggelegar Restu merusak alunan lagu Taylor Swift yang terputar dari speaker bluetooth di kamarku. Sosoknya berdiri di ambang pintu kamar sambil berkacak pinggang. "Ini masih pagi, woi. Lo ngegalauin siapa lagi, sih? Patra?" cecarnya gemas.

Refleks saja, aku terduduk di kasur dan memandang kesal.

Unit apartemen ini punya dua kamar. Karena Restu investasi lebih banyak, dia punya hak menempati kamar tidur utama, sedangkan aku memakai satu kamar lain yang ukurannya tidak semegah maupun seluas kamar Restu.

"Ketuk pintu dulu bisa kali!" sindirku.

"Gue udah ketuk, lo aja yang pasang volume kencang-kencang kayak lagi galau!" sambar Restu memasuki kamar. Dia duduk di ujung kasur dan memandangku heran. "Lo kenapa lagi? Awas aja lo bilang nggak apa."

Aku langsung mencibir. Tanpa menjawab pertanyaan, aku kembali menelungkup di kasur. Jempolku scrolling salah satu platform menulis. Kali-kali saja menemukan naskah yang oke dan bisa diakuisisi.

"Heh, ditanyain juga!" Restu mencolek-colek punggungku. "Lo kenapa? Akhir-akhir ini gelagat lo nggak normal tau, nggak? Kayak orang abis putus!"

Bibirku terkunci makin rapat.

Lebih tepatnya, mungkin sudah lost contact. Bukan putus—technically.

Adit sudah bukan Pacar Darurat-ku lagi. Waktu 24 jam berakhir begitu saja. Aku tidak berani mengirim kabar apa-apa kepada Adit. Setelah itu, dia juga tidak lagi menghubungiku meski statusnya lagi online.

Diam-diam, aku menarik napas. Padahal kupikir bisa kembali seperti biasa setelah 24 jam. Ternyata tidak segampang itu.

Lagi-lagi tanpa merespons Restu, aku scrolling ponsel.

"Gue nggak tau lo lagi masalah apaan, tapi lo siap-siap, gih!" kata Restu sejurus kemudian.

Otomatis aku menoleh. Keningku berkerut bingung. "Siap-siap buat apaan?"

"Kok, malah nanya balik? Ya buat ketemu Om dan Tante! Mereka kan bilang mau ke Jakarta weekend ini!"

Aku terkesiap. Mataku membola dan terduduk lagi di kasur. Kapan bilangnya? Kapan Om dan Tante ngomong mau ke Jakarta?

"Candaan lo nggak lucu ya, Restu," kataku rendah. Sepertinya aku harus bikin seblak di apartemen ini biar Restu kapok menjahiliku.

"Dih, siapa juga yang bercanda? Gue serius. Om dan Tante kan kemarin telepon. Mau ke Jakarta gara-gara kita nggak sempat melulu ke Bogor!"

"Gue belum siap kalau ditanya-tanya Om dan Tante! Kenapa lo nggak tolak aja?"

"Kok, jadi gue doang yang salah? Lo juga kemarin iya-iya aja pas ditanya. Lagian, masa gue tolak sih? Gue bilang apaan kalau mau nolak mereka?" seru Restu tak mau kalah.

Kepalaku mendadak nyut-nyutan.

"Ya bilang kek apartemen lagi berantakan, jadi nggak mungkin terima tamu—"

"Mereka minta ketemu di luar, kok. Jadi mereka bilang nggak bakal nyusahin kita," sela Restu tenang.

Reaksinya itu berbanding terbalik denganku. Meski ketemunya di luar, aku tetap belum siap bertemu Om dan Tante Tanureja.

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now