12. (Bukan) Mimpi Indah

989 205 16
                                    

"Gue balik ya, Tu." Alih-alih menjawab, Adit justru pamitan dengan Restu. Seakan tak mengindahkan keberadaanku, dia melewatiku begitu saja. Tangannya menepuk-nepuk bahu Restu.

Saat pandangan mata Adit beradu dengan Patra, sekujur tubuhku seakan diselimuti kabut dingin. Patra terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya kepada Adit yang justru melempar tatapan santai.

Aku berharap Patra tidak melayangkan jotosnya ke wajah ganteng Adit. Berikutnya, harapanku terkabul. Adit tidak mengurangi senyumannya setelah berpamitan dengan Om Damar dan Tante Emma yang terbingung-bingung.

Selepas kepergian Adit, apartemen pun masih diliputi hening dan mungkin sedikit rasa bingung. Wajah Om Damar dan Tante jelas-jelas bingung. Aku juga melihat kebingungan samar di wajah Restu, tapi dia berusaha menutupinya.

Hal yang sama juga tampak pada Patra. Lelaki itu kaku di posisinya.

Diam-diam, aku menahan diri agar tidak berlari mengejar Adit. Reaksi itu bisa bikin orang makin bertanya-tanya. Amit-amit, bisa memancing perkara lain. Sementara ada masalah lain di hadapanku.

Tanganku terkepal. Aku tidak tahu apa lagi yang diinginkan Patra. Sambil menarik napas dalam-dalam, aku kembali menatap lelaki itu.

"Sama siapa aku sekarang, sebenarnya bukan urusan kamu lagi, Pat," tegasku memecah keheningan. "Kita udah putus. Aku udah bilang juga ke kamu, aku nggak bisa lanjutin hubungan kita lagi."

Patra ternganga. "Ti, plis. Aku benar-benar perlu kesempatan satu kali lagi--"

"--aku bisa aja jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya," potongku getir.

Katanya, kekuatan dari sebuah kata-kata atau ucapan itu bisa mengerikan. Saking ngerinya, kata-kata atau ucapan jika tidak disampaikan dengan tepat atau cuma asal-asalan, mampu terngiang-ngiang pada seseorang hampir sepanjang hidupnya.

Bayangin ada orang yang ternyata dihantui oleh kata-kata kejam selama hidupnya meski dia sudah berusaha keras melupakan dan move on. Namun gara-gara itu perasaan gelisah, tak nyaman sampai rendah diri bisa menjadi bagian darinya sepanjang hidup. Sementara orang yang mengatakan kata-kata kejam itu live at their fullest.

Tetapi aku berharap ucapanku bisa menjadi reminder untuknya. Aku kenal Patra lebih baik daripada ini.

Tidak ada orang yang bisa berubah tanpa ada keinginan dari dirinya. Aku tidak bisa mengubah sisi Patra yang ini. Namun, aku tidak mau ada lagi korban patah hati darinya. Semoga saja aku menjadi perempuan terakhir yang dilukainya kayak begini.

Toh, dia juga berhak mendapatkan kebahagiaan versinya. Meski aku bukan bagian dari kebahagiaannya.

"Pat, waktu itu aku juga bilang, aku nggak mau hidup dalam kecurigaan sepanjang sisa hidupku sama pasanganku. Itu nggak menyenangkan," kataku pelan.

Patra menggeleng. Keras kepala. "Ti, kita masih bisa wujudkan cita-cita kamu. Kita menikah. Kita bikin tema intimate wedding kayak yang kamu mau. Terus, child-free. Ya, kan?"

Demi Tuhan, mendengar itu hatiku seperti diremas-remas!

Mataku mendadak memanas karena menahan air mata yang mengancam akan menetes. Kepalan tanganku kian erat untuk menahan agar air mata tidak lolos dari mataku.

Aku tidak mau menangis. Tidak di depan Om Damar, Tante Emma, dan Restu.

Sialan, sekarang aku benar-benar benci Patra! Aku benci karena dia masih ingat dengan jelas cita-citaku. Aku benci kenyataan dia jelas-jelas masih ingat begitu, tapi malah selingkuh!

"Patra," Aku menahan geraman dan sengaja memejamkan mata untuk meredakan gejolak emosi yang melejit. "Cukup. Kamu nggak perlu mewujudkan cita-cita aku. Aku berterima kasih karena kamu masih ingat dengan cita-citaku. Tapi aku nggak mau mewujudkan cita-cita itu sama kamu lagi," tegasku seraya menatap lelaki itu. "Kamu udah pilih keputusan kamu, dan aku juga pilih keputusanku. Ini keputusan aku. Kita selesai."

The Emergency BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang