25. Unable Edited Plot Twist

778 157 11
                                    

"Kamu masih belum percaya," gumam Adit begitu menemuiku keesokan paginya.

Kepalaku sontak menggeleng.

Sebenarnya, aku ingin percaya Restu tahu soal aku dan Adit pernah pura-pura pacaran. Restu yang masih santai-santai saja meski tahu. Tapi, kok, rasanya mustahil?

Mana mungkin Restu bisa santai-santai saja walaupun tahu?

Tidak mungkin Restu masih bisa bersikap biasa-biasa saja. Atau, pura-pura biasa saja. Tidak ada koar-koar, kehebohan... well, dia memang pernah tanya-tanya soal kedekatanku dengan Adit, tapi aku tak yakin itu bisa dihitung sebagai sesuatu yang heboh. Malah, itu kayak kepo-kepo saja.

Seandainya beneran tahu, Restu tidak mungkin diam-diam saja. Dia berhadapan dengan dua orang sekaligus: Adit sebagai pacar adiknya, dan aku sebagai pacar temannya. Minimal, dia menjadi CCTV yang memantau gerak-gerikku atau Adit.

Kalau diam-diam bae begini, entah kenapa kedengarannya bukan tipikal Restu banget!

Aku hampir tidak tidur gara-gara memikirkan itu semalaman. Bahkan kepalaku sedikit pening ketika balas chat dari Adit tadi pagi gara-gara kurang tidur.

"Dia emang tau aku pernah jadi Pacar Darurat kamu. Tapi kalau udah official jadian, sih, belum, Res." Adit bersandar pada sandaran sofa. Lesung pipinya muncul. "Tadinya aku mau ngomong pas ajak kamu ke kafe, ternyata Restu malah ngajak Didi."

"Ah ya!" Aku mengangguk. Ngomong-ngomong soal Didi, aku jadi teringat sesuatu. "Didi penggemar Taylor Swift ya?"

Adit menatapku beberapa lama. Matanya lalu berkedip cepat. "Iya. Kenapa?"

"Kamu nyanyi Enchanted—"

"—woah, hold on, Res!" sergahnya buru-buru. Matanya melebar. "Kayaknya aku tau arah omongan kamu. Kamu nggak mikir aku nyanyi Enchanted itu gara-gara Didi, kan?"

"Sebenarnya aku mikir gitu."

Kepala Adit geleng-geleng. "Didi emang demen Taylor Swift—oke, penggemar berat. Dia emang Swifties, tapi aku nyanyi lagu Enchanted itu buat kamu."

"..."

"Aku juga ganti lirik lagunya pakai nama kamu," lanjut Adit lebih pelan. Kendati demikian, nadanya terdengar serius. "Kalau bukan buat kamu, aku nggak mungkin seniat itu sampai mengganti liriknya pakai nama kamu atau sampai bela-belain minta tolong Ardhan ngelatih vokal aku."

Selama beberapa sekon, aku terperangah. "Kamu sampai minta bantuan Ardhan?" tanyaku tak percaya.

"Ya iyalah. Aku nggak pernah latihan nyanyi, Res. Vokalku biasa aja cenderung jelek. Makanya, nggak jadi vokal—"

"Tapi suara kamu bagus pas nyanyi Enchanted!" bantahku tak setuju.

"Finally," Adit nyengir. "Nggak sia-sia intensif latihan vokal sama Ardhan. Dia nyaris nyerah gara-gara suaraku parah banget."

"Emang segitu parahnya?"

Adit terbahak dan manggut-manggut. "Dia emang jago, sih. Tapi, suwer, Res. Lagu itu beneran buat kamu. Walau emang Didi demen Taylor Swift."

"Kamu nggak nostalgia sama dia, kan?"

Dia memandangku horor. "Res, aku udah gila kalau mesti nostalgia sama orang yang bikin aku trauma!"

Iya juga.

Sesaat, aku lupa bahwa Restu dan teman-teman Adit yang lain tidak tahu cerita sebenarnya di balik putusnya Adit dan Dyah. Wajar saja kalau Restu menganggap Adit sedang bernostalgia saat menyanyikan Enchanted. Mungkin juga dia tidak mendengar saat Adit mengganti liriknya dengan namaku yang jelas-jelas menandakan tidak sedang nostalgia, melainkan ngegombal.

The Emergency BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang