18. Take A Chance on You

908 195 27
                                    

Kota New York punya Midtown Manhattan sebagai area CBD, alias central business district. Sedangkan Jakarta, punya Segitiga Emas Jakarta. Segitiga imajiner ini membentang dari Jakarta Pusat hingga Jakarta Selatan dengan beberapa kawasan yang selama ini sudah dikenali banyak orang seperti SCBD, Mega Kuningan, Rasuna Epicentrum, dan Kuningan Persada.

Di antara kawasan-kawasan itu, orang paling mendewakan SCBD, alias Sudirman Central Business District.

Banyak orang bermimpi bisa menjadi bagian dari hiruk-pikuk SCBD. Bahkan sampai ada so-called Mbak/Mas SCBD. Bahkan di dunia literasi pun, tidak sedikit cerita-cerita bertema romansa kantoran yang mengambil setting di situ.

SCBD seems so legit. Kala malam kayak begini pun, pemandangan di area SCBD masih tampak menakjubkan sekaligus surealis dengan gedung-gedung pencakar langitnya yang seperti sedang berlomba menerangi ibu kota. 

"Mbak, nggak mau nunggu di dalam aja?" Satpam berpakaian serba cokelat mirip seragam Pramuka lagi-lagi menegurku. Nadanya tidak sengak, malah kedengaran prihatin.

Lantas, aku menggeleng. Aku sengaja melempar senyum tipis kepada satpam itu.

"Maaf ya, Pak. Saya ngemper sini aja," kataku masam.

Diam-diam, kupandangi pakaian yang kupakai hari ini.

Pakaianku sebenarnya tidak jelek-jelek amat. Hanya memadukan blus polos simpel dengan rok a line berwarna krem serta sepatu kets putih. Namun begitu tahu gedung kantor Adit yang mana, tiba-tiba saja aku diserang rasa insecure.

Kok, rasanya kayak gembel banget mau masuk ke lobinya doang?

Apalagi melihat perempuan-perempuan yang lalu-lalang di lobi tampak profesional dengan balutan kemeja, jas, atau business attires lainnya. Penampilanku rasanya sejomplang itu.

"Mbak ada janji?" tanya si satpam lagi.

"Iya, Pak. Janji sama temen saya."

Mulut si satpam membulat. "Temennya udah dikabarin, Mbak? Kayaknya Mbak udah lumayan lama nunggunya."

"Tadi saya udah nge-chat dia, sih. Tapi kayaknya dia masih sibuk sama kerjaannya. Paling bentar lagi selesai."

Kepala si satpam manggut-manggut. "Orang-orang yang kerja di sini emang biasanya pulang pada malam, Mbak. Ya ada sih, yang sore-sore gitu. Tapi yang malam juga nggak sedikit. Kadang ada yang baru pulang jam sebelasan gitu. Malah, ada yang lewat jam dua belas baru pulang."

Aku tercenung. Sebuah pertanyaan terbersit di benakku.

Gimana kalau Adit tiba-tiba perlu lembur?

Sejujurnya, aku sama sekali tidak kepikiran soal lembur saat bilang mau ke kantornya tadi sore. Perasaanku kalut gara-gara undangan pernikahan Patra. Selanjutnya yang kutahu, Adit mengiyakan permintaanku. Saat di ojol tadi, dia mengabariku bahwa masih ada kerjaan di kantornya dan memintaku langsung pulang saja alih-alih ke kantornya.

Sayangnya aku telanjur on the way ke kantornya di bilangan SCBD.

Nah, gimana kalau aku harus menunggunya sampai...

"Hayo, bengongin siapa?" Tiba-tiba suara Adit membuyarkan lamunanku. Entah sejak kapan lelaki itu sudah berdiri tak jauh dariku. Sebuah ransel tercangklong pada satu bahunya. Senyumnya merekah saat membantuku beranjak dari ngemper di undakan.

"Hai." Aku balas menyapanya pelan.

"Walah, teman Masnya, toh!" Si Satpam cengengesan. "Tadi saya udah minta Mbaknya masuk, Mas. Tapi nggak mau. Katanya mau ngemper aja."

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now