15. Hanya Kebetulan

938 173 11
                                    

Matahari di luar Goutez Le Votre sudah terik ketika gelas latte-ku sudah kosong. Hiruk-pikuk orang-orangnya juga sudah lebih ramai, padahal sebelumnya masih sepi. Menu yang ditawarkan Una juga berubah. Yang tadinya menu sarapan, kini sudah berganti menu untuk makan siang.

Sementara itu, Adit masih fokus dengan laptop di hadapannya. Lagi-lagi, ada kerjaan darurat yang mesti dikerjakannya. Jadi, sekarang bukan cuma punya Pacar Darurat, dia juga punya kerjaan darurat.

"Mana yang lebih jadi prioritas lo? Kerjaan atau pacar lo?"

Adit kalau lagi fokus kerja ternyata sangat berbeda dengan santai. Sesekali alisnya bertaut serius yang bikin wajahnya malah makin ganteng. Saat lagi teleponan juga ganteng. Pas fokus juga ganteng. Atau, sekadar menggerak-gerakkan leher atau merenggangkan lengan.

Intinya, Adit memang atraktif. Entah sudah berapa banyak pasang mata yang mencuri pandangan ke arah lelaki berkaus Polo putih dan celana jins di hadapanku yang tampangnya serius banget.

"Hng, pertanyaan lo bikin gue galau," ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.

"Lo prioritaskan kerjaan."

"Agree to disagree. Sebenarnya gue lebih suka prioritasnya dibagi. Kerjaan cuma pas hari kerja atau jam kerja aja. Sisa prioritas lain bukan pas kerja. Jadi gue bisa all out. Mau itu di kerjaan atau sama orang yang gue prioritaskan."

Well, dari awal memang Adit selalu menegaskan dia bukan tipe yang setengah-setengah.

"Lo suka yang lo kerjakan, Dit?"

Kali ini, Adit mengangkat wajah dan menatapku. Seringaian terulas. "Terlepas dari workload yang kadang suka gila-gilaan, lembur tiada akhir, ... iya. Gue menyukai yang gue kerjakan."

Alisku terangkat. "Itu bukan sepik doang?"

"Kenapa mesti sepik?" Adit meraih gelas dari meja dan menyesap minumannya. Wajahnya tiba-tiba berubah keruh. "Kayaknya gue udah ngacangin lo lama banget ya, Res? Kopi gue udah dingin, nih."

Tawaku tersembur. Kepalaku menggeleng, tak habis pikir dengan kata-katanya.

"Chill, lo udah kelar atau—wait, what are you doing?" seruku makin terbahak-bahak tatkala Adit yang menutup laptop dan menyimpannya ke dalam tas. Dia bahkan mencopot Galaxy Buds yang semula menyumbat telinganya.

"Niat awal gue adalah ngajak lo sarapan bareng. Bukan minta ditemenin ngerjain kerjaan tahu bulat dari bos gue," terangnya sambil mengerling. "Dinginnya kopi itu menandakan gue kayak orang yang nggak bisa menghargai orang lain. Artinya, gue berengsek karena nggak menghargai Pacar Darurat gue."

Refleks, aku memutar bola mata. "Namanya juga darurat, Dit," kataku seketika merasa tak enak hati. Niatku bukan agar Adit mau menyudahi pekerjaannya dan berfokus hanya padaku. "Mestinya gue nggak usah nyinggung-nyinggung perkara prioritas lo."

Ada banyak hal yang bisa kulakukan selain nanya-nanya tak penting soal prioritasnya. Toh, aku tidak pernah ada dalam daftar prioritas yang sesungguhnya, Aku juga bawa satu novel yang sebenarnya bisa kubaca selagi menunggu. Malah, cukup tebal untuk bisa mencegahku dari melontarkan pertanyaan konyol yang bisa membuatku nyesel kayak tadi.

Well, curiosity is killing the cat, they said.

Rasa canggung yang tak nyaman seketika menyergapku.

Aku sengaja berpaling dan menyisiri sekitaran kafe yang kian ramai. Padahal beberapa saat lalu kafe ini hanya ada kami saja. Adit sepertinya sengaja mengambil meja di sudut kafe agar terasing dengan hiruk-pikuk di kafe. Selain efektif bisa membuatnya fokus dengan kerjaan sampai--ah, sudahlah!

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now