32. The Ultimate Question

1K 165 3
                                    

"Lo masih sayang sama Dyah, Dit?"

Gue membeku. Badan gue seperti es batu raksasa yang tunggu dipahat buat dipajang di meja prasmanan pernikahan.

Kala itu gue sedang nongkrong di salah satu coffee shop di Pacific Place. Selain menemani cewek ini dijemput pacarnya, gue juga merasa perlu sedikit refreshing.

Pertanyaan Prajna tadi sebenarnya bukan tipe yang menghakimi. Nadanya benar-benar pure ingin tahu. Hanya saja, itu bikin gue tertohok saking tepat sasarannya.

Prajna memang salah satu orang yang tahu sepak terjang hubungan gue dari masa kuliah. Dia tipe cewek yang sederhana. Bukan dari keluarga tajir melintir seperti Agharva. Tapi gue nggak tahu gimana Tuhan bisa menjodohkan mereka.

"Gue bukannya masih sayang sama Didi, Pra."

"Terus?" Prajna menyesap tehnya.

"Gue merasa butuh penjelasan. Gue—"

"Dit," Prajna menyela. Dia kembali meletakkan cangkir ke atas meja seraya mengembuskan napas panjang. "Nggak semua mesti punya penjelasan. Kadang ada hal-hal yang mendingan nggak perlu tau apa sebabnya biar hidup lo sedikit lebih ringan dan bebas dari beban-beban tak kasatmata yang menggelayuti lo."

Shit.

Gue nggak bisa berkata apa-apa. Lebih tepatnya nggak tahu harus merespons gimana. Tiba-tiba saja gue hanya berharap Agharva segera tiba dan menjemput cewek ini sebelum gue semakin merasa dibego-begoin sama ucapannya yang terlalu realistis.

"Lo ketularan Agharva kebanyakan tau, nggak?" kata gue akhirnya.

Prajna tersenyum. "Kami saling menular satu sama lain, sih," koreksinya. "Tapi emang sebenarnya dia yang bikin gue nggak terlalu naif. Walau sebenarnya gue masih naif juga kadang-kadang."

Gue mengangguk.

Prajna yang di hadapan gue berbeda dengan yang gue kenal semasa kuliah dulu. Namun berkat Agharva, cewek ini bisa menjadi sosok yang lebih strong dari sebelumnya. Gue penasaran gimana Agharva bisa melengkapi sisi Prajna dan begitu sebaliknya.

Ketika sama Dyah, gue merasa sudah cukup melengkapinya. Namun ternyata, hubungan kami nggak seperti Agharva dan Prajna.

"Pra," panggil gue. "Kenapa lo mau effort buat Agharva pada akhirnya?"

Prajna tampak kaget mendengar pertanyaan gue. Matanya sedikit melebar sebelum akhirnya mengerjap cepat.

"Kenapa tiba-tiba lo nanya itu?" tanyanya. Bingung.

"Penasaran." Gue mengaku apa adanya. "Gue dulu merasa udah melengkapi Didi. Turns out, hubungan kami nggak sesuai yang gue harapkan. Sementara gue tau lo effort buat Agharva. Lo berjuang buat dia..."

"Tapi lo juga tau Harva juga berjuang buat gue, Dit," sela Prajna. "Bukan gue doang yang berjuang sendirian."

"Iya. Tapi gimana akhirnya lo memutuskan lo mau berusaha buat dia setelah apa yang lo berdua alami?"

Prajna mengembuskan napas sambil menyugar rambut panjangnya. Senyum pelan-pelan merekah di bibir cewek itu.

"Sebelum jumping ke situ. Gue pengin tau gimana Harva sama lo gosipin gue pertama kali?" balasnya.

"Woah, itu udah berapa tahun silam, Pra!"

"Nah, itu. Tapi gue kan nggak pernah tau kalian ngomongin apa soal gue. Lo juga tau gue dan Harva beda background. Terus, lo sebagai sahabatnya Harva, lo pasti punya pendapat tersendiri soal gue, kan?"

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now