29. Birthday Surprise

807 134 2
                                    

"Intinya kalau Jamet udah ngapa-ngapain, lo semprot aja pakai semprotan merica. Gue udah nyelipin di tas lo."

"Lo nyelipin apa?" Sembari menjepit ponsel di bahu, aku buru-buru menyambar tas dan mengaduk-aduk isinya. Kemudian terkesiap begitu menemukan botol semprot kecil yang semula kukira adalah hand sanitizer.

Melihat botol itu, mulutku ternganga.

"Lo beneran masukin semprotan merica?!" semburku tak percaya. Tidak tanggung-tanggung, Restu juga menempelkan stiker bertulisan tangan pada badan botol itu: PEPPER SPRAY.

Kurang asem!

"Itu semprot dipake begitu Jamet ngapa-ngapain—"

"Mana mungkin gue semprotin merica ke pacar gue?! Ya Tuhan, Restu!" potongku geregetan. Kepalaku geleng-geleng. "Kenapa lo sekeras gini sama Adit, sih? Dia temen lo. Mestinya lo begini pas sama Patra!"

"Nah, itu. Gue nyesel nggak sekeras ini pas lo sama Patra. Dan, bukan mentang-mentang Jamet temen gue, terus dia bisa seenaknya!"

Mataku memejam.

Aku pikir Restu sudah sedikit melunak. Sewaktu bilang mau staycation berkedok short getaway bareng Adit, dia hanya iya-iya saja. Padahal aku sudah sampai bikin beberapa slide presentasi.

Benar. Demi berduaan saja bareng Adit aku sampai bikin presentasi tentang staycation ini. Aku tidak mau Restu mengira ini sekadar ambil kesempatan berduaan dengan Adit. Terlepas memang hanya berdua, aku berniat berbicara tentang masa depan kami.

Tanpa kusangka sebelum presentasi selesai, kakak kembarku itu sudah memberi lampu hijau. Aku langsung mengabari Adit tentang persetujuan Restu yang menurutnya agak tumben-tumbenan tanpa drama. Eh, ternyata dramanya malah baru sekarang.

Aku kesal.

"Gue tau lo kesel, Ti," ucap Restu di ujung sana.

Walau kembaranku itu tak bisa melihatnya, aku melipat tangan. "Emang. Lo kenapa bikin gue bingung, sih, Tu? Lo sebenarnya bolehin gue pacaran—"

"Gue bukannya nggak ngebolehin lo pacaran sama Jamet," potong Restu tak sabar. "Semprotan merica itu anggap aja preventif—"

"Preventif?" Suaraku kontan meninggi. Mataku membola. "Tu, lo pikir Adit cowok model apaan?"

"Lo editor, Ti. Lo ngerti definisi preventif, kan??" Suara Restu tak kalah tingginya.

"Gue tau, tapi ini lo kayak lagi generalisir, Tu!"

Mataku memindai sekeliling ruang tengah vila bergaya bohemian. Ruangannya didominasi corak warna hitam, putih, krem, dan kecokelatan. Serasi dengan furniturnya. Ada karpet dengan motif bohemian dengan warna keorenan serta beberapa tanaman di sudut-sudutnya yang bikin vila terasa lebih ceria.

Lantas, aku beranjak dari sofa dan mengintip dari jendela besar yang menghadap ke jalanan komplek vila. Komplek vila itu berjejer bangunan vila dengan fasad unik. Alih-alih atapnya kayak rumah pada umumnya, bagian atap vila justru berbentuk agak runcing hingga kalau dilihat dari kejauhan mirip segitiga siku-siku raksasa yang tengah berbaris.

Langit yang mendung-mendung dikit bikin suasana di vila daerah Dago itu serasa seperti di London.

Kendati demikian, tidak ada tanda-tanda sosok Adit. Mobil Avanza-nya masih terparkir. Mestinya lelaki itu sudah masuk lagi. Seingatku, barang-barang yang kami bawa tidak banya. Hanya dua koper berukuran kabin berisi pakaian sampai besok.

"Demi Tuhan, Resti! Gue bukan generalisir semua cowok!" seru Restu gemas. "Gue tau lo sama Jamet kalau nempel udah kayak kembar. Gue yang sebenarnya kembaran lo aja bingung kenapa lo bisa selengket itu sama Jamet! Saking lengketnya, kadang bikin gue ngeri-ngeri sedep!"

"Gue bisa jaga diri, Tu. Gue tau boundaries dan gue yakin Adit juga tau," tegasku final.

Aku tidak mau berdebat dengan kembaranku sendiri. Apalagi sebenarnya ini hari ulangtahun kami.

"Oke," Restu menyerah. "Gue tau lo bisa jaga diri. Gue agak paranoid sama cowok-cowok yang bareng lo karena Patra. Sori."

Kepalaku manggut-manggut dan mengembuskan napas. Lega. "Ngomong-ngomong, happy birthday, kembaran."

Tawa Restu berderai. "Happy birthday juga. Wish lo masih sama?"

"Yap."

"Semoga terwujud."

"Kalau lo?"

Kali ini terdengar helaan napas Restu. "Kita lihat aja nanti. Semoga gue dengar kabar baik dari lo."

Aku mencibir. Namun, aku mengerti kenapa Restu memilih jawaban itu. Tak lama, sesi teleponan kuakhiri. Aku tidak mau sibuk dengan kembaranku, sedangkan aku tak melihat tanda-tanda keberadaan pacarku sendiri.

"Adiiiit!" Aku menaiki tangga ke lantai dua.

Vila itu memang punya dua lantai. Lantai satu untuk ruang tamu, ruang santai, dan dapur. Sementara di lantai dua ada dua kamar yang masing-masing punya kamar mandi di dalam serta sebuah balkon kecil yang menghadap ke komplek vila serta lanskap gunung.

"Mas Ad—"

"SURPRISE!!!"

Mataku melebar tak percaya melihat keberadaan Adit, Mia, Angga, dan pasangan Tanureja di lantai dua.

Belum cukup di situ, lantai dua vila juga sudah didekor dengan tulisan balon-balon seperti yang kulihat di Pinterest.

HAPPY 30TH BIRTHDAY RESTI!

Kemudian balon warna-warni berserakan di lantai dan memenuhi seantero lantai hingga ke sudut-sudutnya. Bahkan langit-langitnya juga dipenuhi balon! Orang-orang di situ memakai topi kerucut warna-warni yang tak kalah heboh.

"Kalian kapan masuknya?" Aku menutup mulut tak percaya melihat orang-orang kesayanganku berkumpul semua di situ.

"Pas lo telepon gue." Tiba-tiba suara Restu terdengar dari arah belakang.

Refleks, tubuhku berputar cepat. Kakiku lemas seandainya tidak bertahan pada pegangan tangga tak jauh dari situ. Restu menaiki tangga dengan balutan kaus dan jins santai. Seringaian lebarnya yang nyebelin itu terulas pada bibirnya.

"Kok, bisa?" tanyaku masih kebingungan.

Restu menggerakan kepala. "Pacar lo yang minta. Dia yang bikin plan, terus ngasih tau risiko-risikonya—sumpah, baru kali ini gue mau surprise orang sampai disebutin segala risiko," ujarnya. "Tapi emang ini agak tricky, sih. Soalnya kalian nginep bareng."

Mulutku ternganga. Sampai segitunya?

"Terus, dari Restu, dia juga invite gue sama Mia." Kali ini giliran Angga bersuara. "Sebagai temen lo, ya kami setuju-setuju aja."

"Restu juga yang invite Om sama Tante," timpal Om Damar. "Terus, kami baru banget kenal sama Adit tadi."

Akhirnya, pandanganku tertuju kepada Adit. Melihatnya berada di antara keluarga dan teman-temanku entah gimana membuat hatiku campur-aduk. Mataku memanas.

"Kok, kamu nggak bilang-bilang aku, sih?" protesku tak terima kepada Adit.

Seraya menghampiriku, tawa Adit berderai. "Kalau aku bilang, bukan surprise lagi namanya," ucapnya lugas. Tangannya memegang sebuah kue tart cokelat yang bertulisan HAPPY BIRTHDAY RESTI! Kemudian, "Kamu tiup dulu lilinnya, deh. Udah mulai meleleh, tuh!"

"Bikin harapan, Res!"

"Make a wish!"

Pandanganku beralih ke kue yang dipegang Adit. Pelan-pelan, mataku memejam. Dalam hati, menyebutkan permohonanku.

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar.

"Adit...?" 

*** 

[15.11.2023] 

helooowww, triple update ya! ^^ 

The Emergency BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang