3. Biar Mantan Tau

2.2K 319 7
                                    

Gudang dari mananya? Alih-alih gudang, aku seperti memasuki ruang kosong yang terang benderang. Kukira gudangnya berisi inventory keperluan kafe.

Nyatanya, ini cuma ruangan kosong yang tidak ada faedahnya.

Seandainya owner kafe ini, aku pasti tidak akan repot-repot bikin ruangan ini. Lebih baik bikin space lebih luas agar bisa meraup lebih banyak tempat duduk buat nongkrong. Sekilas tadi kulihat hanya ada beberapa meja dan kursi di kafe ini. Padahal ambience-nya lumayan untuk sekadar nongkrong santai atau bengong yang jauh dari keramaian.

"Jadi lo ke sini buat sembunyi?" tanya Adit sekali lagi. Suaranya berat dan dalam.

Aku menoleh padanya.

Beberapa waktu lalu, aku sempat planga-plongo karena clueless. Adit yang menyadari kebingunganku mengenalkan diri sebagai salah satu teman Restu.

Masalahnya, sirkel pertemanan Restu kan banyak. Banyak yang ganteng. Tetapi kenapa Adit seolah tidak terekam di otakku? Biasanya orang ganteng kan lebih gampang diingat.

Lelaki ini juga di luar prediksi.

Kupikir dia bakal keluar dan meninggalkanku. Ternyata malah ikutan masuk ke gudang ala-ala ini dan menginterograsiku.

"Dari siapa? Bukan debt collector, kan?" Senyuman jail nan mempesona terulas di bibir lelaki itu. Ada lesung pipi juga.

"Bukanlah," Aku mendelik keki. "BI checking gue aman, kok."

Adit tertawa renyah.

Posisinya benar-benar kebalikan denganku. Dia kelihatan santai. Sedangkan aku susah-payah menahan perasaan senewen yang menyerangku.

Semoga saja Patra tidak menemukan Angga dan Mia. Aku juga berharap kedua temanku itu bisa melakukan sesuatu agar Patra pergi dari lokasi ini. Aku tidak mau bertemu lagi dengannya.

Lantas, tanganku meraba-raba kantong celana kemudian berganti mengaduk-ngaduk isi tas.

"Nyari apa?" tanya Adit.

"Hape."

"Ketinggalan atau hilang?" Lagi-lagi Adit bertanya, kemudian mengulurkan ponselnya padaku. "Mau pake punya gue?"

Here's a thing. Aku memang hapal nomor Patra di luar kepala. Sayangnya, aku tidak hapal nomor kedua temanku. Seandainya Mia dan Angga tahu soal ini, pasti mereka mencak-mencak saking kesalnya.

"Gue nggak hapal nomor temen gue," kataku.

Alis Adit terangkat sebelah. "Lo mau ngontek temen?" tanyanya. "Gue kira lo bareng kakak lo. Dia ada di sini juga nggak?"

Aku langsung menggeleng.

Restu, kakak kembarku, punya agenda lain. Alias, ngegame sepuasnya di apartemen. Sedangkan aku tidak mau mendekam di tempat itu dan mengasihani diri kelamaan.

"Syukurlah," ucap Adit tiba-tiba.

Keningku langsung berkerut bingung. "Emangnya kenapa?"

Adit kemudian bersandar pada dinding. "Gue nggak mau ada yang melihat gue di sini. Tadi aja gue ke sini karena di luar ramai banget!"

Aku masih tidak menangkap arah pembicaraannya.

"Demam panggung," Adit melempar senyum tipis. "Makanya, gue nyari tempat yang sepi kalau bisa jauh dari jangkauan orang-orang juga. Pas masuk kafe, Una langsung mengarahkan gue ke ruangan ini buat menenangkan diri."

"Una?"

Bukan permainan kartu itu, kan?

"Mbak-mbak kasir di depan."

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now