31. Screwed Up

1.1K 173 21
                                    

ADIT

Bertahun-tahun di bagian risk management ternyata nggak serta-merta bikin gue pintar dalam memitigasi risiko dalam kehidupan gue sendiri.

Rencana surprise untuk ulang tahun Resti sudah gue proyeksikan sebaik mungkin. Kecuali, begitu Dyah muncul di depan rumah pagi tadi.

Sialan. Gue nggak nyangka Dyah nekat muncul pagi-pagi buta. Gue mestinya nggak usah ngomong apa-apa ke perempuan itu. Apalagi soal Resti.

And now, look what I made.

Dyah muncul tanpa aba-aba, bikin kacau segalanya. Surprise buat Resti malah beralih buat gue. Katanya, perempuan itu mengikuti mobil dari Jakarta sampai vila. Ngeri banget. Nggak cukup di situ aja, dia juga ngomong yang nggak-nggak, bikin kepala gue pusing.

Gue memijit-mijit kepala.

I'm so screwed.

Resti tadi pingsan. Gue nggak tahu persis apa yang bikin dia pingsan atau sejak kapan dia ada di lantai dua. Sementara sepengetahuan gue, dia bareng yang lain turun ke lantai satu vila begitu gue mengiyakan kemauan Dyah.

Gue tahu keputusan mengiyakan kemauan Dyah menimbulkan pertanyaan buat orang-orang. Malah, sepintas gue menyadari Resti yang kelihatan enggan diajak ke lantai satu. Gue tahu itu nggak adil buat dia. Mengingat hanya dia yang tahu cerita masa lalu gue sekaligus bertekad mau menemani gue saat bertemu Dyah.

Nyatanya, gue justru secara nggak langsung mengisyaratkan agar dia meninggalkan gue sama Dyah.

"Met."

Suara Restu menembus labirin di otak gue. Gue mengangkat kepala, lalu melihat Restu keluar dari kamar yang ditempati Resti. Wajahnya datar. Tetapi sukses bikin jantung gue ketar-ketir.

"Ngopi, kan?"

It's politeness. Gue tahu itu. Mau gue atau Restu sama-sama tahu, nggak ada sejarahnya ngopi lepas maghrib kayak begini. Kalau ada, pasti abis itu ada kerjaan yang mesti diselesaikan. Namun ini weekend. Satu-satunya kerjaan yang mesti gue kerjakan adalah mengembalikan hubungan gue dan Resti seandainya memang nggak baik-baik aja abis ini.

Alas, intuisi gue malah 95 persen yakin hubungan gue dan Resti memang udah nggak baik-baik aja. Bajingan, memang.

Dalam hati, gue penasaran dengan keadaan Resti di dalam kamar. Sayangnya, kepala gue cuma bisa manggut-manggut kaku, menurut. Mau sikap sok pahlawan sekarang nggak ada gunanya.

"Biar Resti dijaga Mia sama Angga dulu," lanjut Restu. "Kita ngopi aja bentar."

Di lobi marketing gallery yang mengurus vila dan resor ini memang ada sebuah coffee shop. Letaknya di bagian depan komplek vila yang berseberangan langsung dengan jalan raya. Buat datang ke coffee shop-nya orang nggak perlu jadi tamu vila. Orang-orang yang kebetulan lewat jalan situ juga boleh datang.

Suhu di daerah Puncak pelan-pelan mulai menurun. Rasanya lebih dingin daripada siang tadi saat kami sampai di situ. Akhirnya, Restu nggak menyalakan AC mobil. Jendela mobilnya dibuka sehingga angin sejuk khas pegunungan memasuki mobil itu.

Tak lama setelah menemukan parkir, lagi-lagi gue dan Restu turun tanpa obrolan. Suasananya benar-benar bikin gue makin nervous.

"Dee balik?" tanya Restu begitu sudah duduk di sebuah meja dekat sebuah jendela besar.

"Balik."

"Ke Jakarta?"

"Iyalah. Ke mana lagi?"

"Lo kenapa nggak anterin? Cewek dia, Met."

Gue menelengkan kepala dan balas menatap Restu. "Pacar gue pingsan, Tu. Mana mungkin gue tinggalin pacar gue yang lagi pingsan gitu? Lagian, Didi ke sini atas kehendaknya, berarti dia bisa balik lagi ke Jakarta sendiri."

Sejujurnya, gue nggak peduli lagi sama Dyah.

Restu nggak langsung merespons. Dia menatap gue lama, seolah sedang menilai. "Lo masih punya perasaan sama Dee?"

"Perasaan seperti apa?" Gue menyelidik.

"Kangen? Cinta lama bersemi kembali...? Entahlah." Restu bersandar pada sandaran kursi dan bersedekap. "Lo coba elaborasi sendiri."

"No offense, Tu. Bukannya gue bermaksud nggak sopan, tapi lo tanya gini bukan behalf on your sister, kan?"

"Resti adik gue, Met."

"Dan, Resti pacar gue. Gue tau status itu nggak ada apa-apanya dibandingkan status lo sebagai kakaknya yang bisa melindungi dia dari segala ancaman meski gue tampak sebagai ancamannya. Tapi seandainya obrolan ini behalf on your sister, gue prefer ngomong langsung, Tu."

"Itu masalahnya, Met. Dia nggak mau ngomong sama lo."

"What?"

"Resti bilang nggak mau ngomong atau ketemu sama lo sementara waktu."

Damn. 

*** 

[15.11.2023]

A/N: hellow, karena 3 part terakhir pendek-pendek, kuputuskan buat update 3 chapter sekaligus ya. Semoga kalian berkenan. 

Terima kasih buat kalian yang udah baca dan dukung cerita ini. T-T aku terharuuuu... huhuhu... dukungan vote & comment kalian mood booster banget! Makasihhh yaa... ^^ 

semoga terhibur. enjoy your reading! 

See you on next chapters! 

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now