Bab 92

81 0 0
                                    

George menggeram dengan kedua tangan yang sudah mengepal tatkala barang bukti yang sudah susah payah dia kumpulkan kini raib tak tersisa.

Dia termangu di ruang kerjanya, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan dada yang mulai naik turun akibat emosi yang kian meluap.

George benar-benar Tak habis pikir jika Angella alias Gabby telah merencanakan semuanya hanya untuk mencuri seluruh barang bukti yang ada di rumahnya.

'Kenapa aku begitu bodoh dan terlalu percaya kepada gadis itu? Harusnya dari awal aku sudah curiga kenapa ada gadis yang tiba-tiba muncul di sekitarku dan mengaku tinggal di apartemen dekat kantorku? Bahkan sebelumnya aku tak pernah melihat ada gadis seperti dirinya berkeliaran di sekitar sana.'

Lagi-lagi George menghela napas gusar. Dia harus menerima sebuah kenyataan pahit yang telah mengoyak hati dan jiwanya. Dia mulai sadar jika Raizel bukan lawan sembarangan. Sekali George menyerang, dia pasti akan membalas berkali-kali lipat. Namun, bukan berarti George takut akan hal itu. Harga dirinya yang terluka membuat dia tak gentar untuk terus memberikan perlawanan.

'Tunggu pembalasanku, Raizel. Ini semua belum berakhir.'

George menggertakkan rahangnya seraya menatap nanar ke arah papan tulis yang hanya tersisa tulisan El Camorra.

***

Sesampainya di rumah, Raizel mengajak Gabby untuk ke kamarnya dan melihat seluruh barang bukti yang telah didapatkan. Kali ini dia tak lupa mengunci pintu kamar agar Lascrea tak bisa masuk begitu saja. Sementara Gabby mulai mengeluarkan beberapa barang bukti dari dalam tasnya.

"Aku ingin kau merahasiakannya dulu dari Paman Richardo!"

Raizel menautkan kedua alisnya, tak mengerti kenapa Gabby bisa berkata demikian.

"Ada apa?" tanya Raizel, terheran-heran.

Gabby menghela napas gusar lalu menyugar kasar rambutnya dengan kedua tangan hingga kedua alisnya terangkat.

"Maafin aku, Rai. Aku punya firasat buruk tentang Paman Richardo."

"Kenapa kau bisa berkata seperti itu? Apa yang kamu lihat di sana?" tanya Raizel mulai serius. Dia meletakkan kedua tangannya di atas bahu Gabby seraya menatap tajam gadis itu.

"Sepertinya ini foto ayahnya George!" Gabby menyerahkan foto Jonathan yang sengaja dia bawa untuk ditunjukkan kepada Raizel.

"Terus?"

Raizel makin tak mengerti.

"Setahuku ayahnya George sudah meninggal. Entah kenapa George meletakkan foto ayahnya di atas foto paman Richardo saat dia membuat bagan di papan tulis."

"Tahu dari mana jika pria yang ada di foto ini adalah ayah George?"

Gabby menggeleng lalu menjawab, "Aku hanya menduga karena ada beberapa foto dia yang terpajang di ruang tamu. Aku tak bertanya kepada George karena khawatir mengorek luka lama dan membuatnya bersedih."

"Berarti, alasan utama dia mengincarku dan Pamam bukan karena bisnis kami?"

Gabby menggeleng dengan mata terpicing.

"Kurasa bukan. Kecuali jika ayahnya George meninggal di El Camorra."

Raizel terpaku sejenak, seperti menemukan sebuah petunjuk dari ucapan Gabby. Sampai akhirnya dia berkata dengan tatapan menerawang.

"Nggak mungkin!"

Pemuda itu menggeleng pelan dalam lamunannya, membuat Gabby bertanya-tanya, apa yang sedang Raizel pikirkan.

"Apa yang nggak mungkin, Rai?"

"Kita harus mencari tahu apa penyebab kematian ayahnya George! Aku khawatir jika Paman terlibat dan ada kaitannya dengan kematian itu."

Gabby mengangguk setelah menelan saliva yang terasa getir. Untung saja Raizel memiliki pemikiran yang sama dengannya.

"Untuk saat ini, kita serahkan file dashcam-nya saja. Bilang saja jika aku tak menemukan apa pun selain itu."

Raizel mengangguk, mencoba memahami apa yang disepakati oleh Gabby.

****

TAWANAN CINTA MAFIA TAMPANWhere stories live. Discover now