Bab 84

82 0 0
                                    

Raizel mengantar Gabby menggunakan taksi walau di belakang tetap ada mobil ajudan yang melindungi. Pemuda itu memeluk Gabby dengan erat sebelum melepaskannya untuk kembali ke apartemen.

“Aku bener-bener kangen banget sama kamu. Kapan semua ini berakhir biar kamu bisa pulang?”

Sebelah tangannya mengelus rambut Gabby yang sudah tak lagi mengenakan rambut palsu. Dia menghirup rambutnya setelah mengecup kepala Gabby dengan lembut.

Selang beberapa detik, Gabby melepaskan pelukan Raizel lalu tersenyum simpul seraya menangkup wajah tampan itu dengan kedua tangannya.

“Sebentar lagi, Sayang. Sampai aku berhasil menyusup ke rumahnya dan mencari tahu segala tentang dia.”

Raizel menghela napas gusar seraya mengangguk lesu.

“Baiklah. Aku akan bersabar sebentar lagi.”

Keduanya saling pandang dan mengukir senyum termanis mereka hingga akhirnya berpelukan untuk terakhir kali sebelum akhirnya terpisah karena Gabby harus kembali ke apartemen.

Setelah memasuki kamarnya, Gabby mengempaskan tubuhnya ke kasur lalu merogoh ponsel dari tas kecil miliknya untuk mengecek pesan masuk dari George. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan belum ada pesan apa pun lagi yang masuk dari George selain pesan terakhirnya pada pukul lima sore.

“Apa dia marah?”

Entah kenapa ada sedikit rasa khawatir yang muncul dalam hati Gabby. Dia pun memberanikan diri untuk menelepon, tapi nomor yang dituju tidak dapat dihubungi dan hanya terdengar suara operator di balik sana, pertanda bahwa ponsel George tengah dimatikan.

Gabby pun menghela napas gusar lalu meletakkan ponselnya secara teratur hingga akhirnya bangkit dari kasur untuk mandi dan bergegas tidur.

***

“Sebentar lagi kita akan susun rencana, bagaimana caranya Gabby berhasil membuat George mengajak dia ke rumahnya. Mungkin di sana ada petunjuk tentang kita atau beberapa bukti yang dia kumpulkan selain blackbox.”

Raizel tengah meeting bersama Lascrea dan Richardo di ruang kerjanya. Dia menunjuk sebuah papan tulis yang sudah banyak coretan dan beberapa foto yang terpaku di sana, termasuk foto Gabby dan George.

“Benar. Setidaknya, kita harus merebut kembali barang bukti yang sudah dia kumpulkan tentang kita.” Tambah Richardo dengan mata terpicing. Sebelah tangannya mengusap-usap kumis tebal yang dia miliki.

Lascrea tak banyak bicara kali ini. Dia mencoba untuk setuju dengan apa pun yang sedang Raizel rencanakan. Namun, pandangan wanita itu rupanya tengah menerawang juga. Seperti sedang merencanakan sesuatu di luar pembahasan kali ini.

Sampai akhirnya terdengar nada dering panggilan dalam ponsel Lascrea, sehingga semua orang yang ada di ruangan itu menoleh ke arahnya. Lascrea sedikit terkejut lalu merogoh ponselnya dari kantung celana dan melihat nama yang tertera pada layar.

Refleks Dia menelan ludah setelah mengetahui siapa yang menelepon. Lascrea pun memandang Raizel dan Richardo secara bergantian, lalu berpamitan mengangkat panggilan tersebut di luar ruangan.

“Maaf, memotong di tengah pembicaraan. Ada klien yang menelepon.”

Raizel mengangguk dan mempersilakan Lascrea untuk mengangkatnya.

“Baik, angkat saja!”

“Terima kasih, Bos!”

Lascrea pun segera bergegas untuk mengangkat panggilan yang sebenarnya cukup mengganggu di tengah rapat tersebut.

“Ada apa, Bos? Kenapa menelepon sekarang? Aku sedang bersama Raizel.”

Pria di balik telepon itu menyunggingkan senyum sambil menyesap sebatang rokok andalannya. Rupanya dia adalah Arnold.

“Aku ingin kau membantuku.”

Lascrea menautkan kedua alisnya lalu menengok kanan-kiri, memastikan tak ada seorang pun yang menguping pembicaraannya.

“Aku bisa membantu sebisa mungkin. Namun, jika ini berhubungan dengan Island Paradise, aku sedang tidak bisa membicarakannya saat ini karena terlalu riskan.”

“Tidak! Ini bukan tentang Island Paradise,” potong Arnold, membuat kening Lascrea kembali mengkerut.

“Lantas?”

Arnold menyeringai hingga akhirnya menjawab, “Ini tentang Gabby.”

****

TAWANAN CINTA MAFIA TAMPANWhere stories live. Discover now