BAB 30

305 4 0
                                    

George menggertakkan rahangnya saat menyadari bahwa isi rekaman dari blackbox yang dia dapatkan ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Berkali-kali Gerorge mengeluh, mengusap wajahnya secara kasar hingga Dion—rekan seperjuangannya yang berada dalam satu ruangan dengannya pun tampak heran oleh sikap George yang terlihat sedikit frustrasi.

Dion yang duduk di seberangnya dengan santai mengedikkan dagu. “Kenapa lo?” Kedua pipinya menggembung akibat roti keju yang sedang dia kunyah.

“Percuma gue bawa kabur blackbox-nya. Nggak ada rekam jejak dia bertemu dengan Richardo di sini. Kayaknya ini bukan mobil yang biasa dia bawa.”

Dion terkekeh lalu menyeruput kopinya yang sudah tak panas lagi. “Mafia kelas kakap kayak dia nggak mungkin seceroboh itu bawa mobil pribadi sendirian, George. Apalagi dekengannya seorang jenderal bintang dua.”

“Argh!”

George semakin kesal dengan ucapan temannya. Dia menjambak rambutnya sendiri, membuat Dion semakin terkekeh.

“Lo nggak mau nyerah aja? Pak ketua udah ngewanti-wanti loh, jangan sampe kita berurusan sama Richardo,” ungkap Dion.

George menatap nanar ke arah Dion. “Lo bisa dengan mudahnya ngomong kayak gitu karena bukan bokap lo yang mati.”

Dion menelan suapan terakhirnya dengan mata yang membulat.

“Loh, tapi kan kita nggak punya bukti yang cukup kuat kalau Richardo udah bunuh Bokap lo, George!”

Sepasang mata sipit George mulai terpejam, membayangkan tragedi kelam yang pernah menimpa ayahnya, tiga tahun silam.

Malam itu, George merayakan ulang tahunnya bersama teman-teman kepolisian saat dia belum bergabung dengan BIN. Mereka bersenda gurau seraya menikmati buffet di sebuah restauran bintang lima. Sayangnya, kebahagiaan itu terasa kurang lengkap karena ketidakhadiran Danny, sahabat George yang sama-sama memiliki jabatan sebagai polisi.

“Lo nggak coba telepon Danny?” tanya salah satu teman George yang turut hadir di restauran.

“Udah. Tapi katanya dia nggak enak badan,” jawab George sedikit murung.

“Yaudah, nggak apa-apa. Siapa tau nanti dia tiba-tiba kasih kejutan hadiah yang luar biasa.”

George mengangguk, nberharap demikian. Sampai akhirnya acara selesai dan dia memutuskan untuk langsung pulang setelah membeli beberapa makanan lezat untuk Jonathan, ayahnya yang menjabat sebagai Brigadir Jenderal.

Entah kenapa ada sebuah perasaan yang mengganjal saat dia memasuki rumahnya yang tampak sepi dan gelap gulita. Sejak kecil dia memang hanya tinggal berdua dengan Jonathan, karena ibunya meninggal setelah melahirkan. Alhasil rumah besar yang mereka huni selalu terasa sunyi, baik siang atau malam hari.

Kekhawatiran George memuncak saat dia menginjak cairan kental di ruang tamu, beserta penampakan siluet tubuh yang terkapar di permadani.

Bak petir menyambar, menggelegar di atas kepala. George membelalakkan matanya saat menyadari bahwa jasad yang terbujur kaku di atas permadani adalah ayahnya sendiri. Dengan perasaan membuncah, pemuda itu berlari memencet saklar hingga lampu gantung yang menghias langit-langit ruang tamu mulai memancarkan sinarnya. Membuat cairan kental yang semula tampak hitam, kini terpampang nyata dengan warna merahnya yang pekat.
“Tidak! Ayah!”
George memekik di tengah keheningan malam. Setitik air matanya jatuh lalu disusul tetesan lainnya hingga rebas tak lagi terbendung. Jantungnya merenyut tak karuan saat menyaksikan kejadian mengenaskan di depan mata. Dia pun mengecek pergelangan tangan Jonathan yang sudah kehilangan denyut nadinya. Kemudian merengkuh tubuh renta Jonathan yang sudah tak berdaya sambil meronta sekencang-kencangnya. Tak lama berselang, pandangan George beralih ke arah pistol yang Jonathan genggam. Benda hitam itu telah membuat kepala ayahnya berlubang akibat peluru yang ditembakkan.
Berkali-kali George menggeleng, tak percaya dengan kenyataan pahit yang merenggut kebahagiaannya dalam sekejap. Bagaimana mungkin Jonathan bunuh diri di tengah kehidupannya yang cukup bahagia, tanpa beban sedikitpun? Bahkan dua hari yang lalu, Jonathan sempat berjanji akan mengajak George berlibur ke Hawai, sebagai hadiah ulang tahun sekaligus apresiasi atas kerja keras putranya menjadi seorang polisi. Oleh sebab itu George yakin seratus persen bahwa Jonathan tak mungkin menghabisi nyawanya sendiri.
Usai menghubungi ambulans, George segera mengecek CCTV yang berada di ruang tamu. Sialnya, posisi Jonathan terkapar rupanya berada di titik buta sehingga tak terdeteksi oleh CCTV. Namun tak sampai di situ. George pernah meletakkan kamera tersembunyi di belakang vas bunga untuk memantau ayahnya di titik buta CCTV, agar tak diam-diam menyantap makanan manis karena memiliki riwayat penyakit diabetes. Untung saja CCTV itu sangat berguna untuk menyelidiki kematian ayahnya.
Sampai akhirnya George menemukan kenyataan yang benar-benar membuat dia tak mampu berkata-kata setelah menyaksikan apa yang terekam oleh kamera tersembunyi. Rekaman itu menampilkan sosok Danny yang mengarahkan pistol ke arah Jonathan dengan menggunakan sarung tangan hitam. Setelah pria paruh baya itu tumbang dan terkapar, Danny pun meletakkan pistol di tangan Jonathan agar seolah-olah pria itu melakukan bunuh diri.
“Bajingan! Ini sebabnya dia tak datang ke restauran?” desis George sambil mengepalkan tangan, menahan buncahan lahar yang menggeliat dalam dada.
Berkali-kali dia merutuk dalam hati sambil berusaha menelepon Danny.
Di sisi lain, Danny yang tengah gemetar dihantui rasa bersalah, hanya bisa memandang pepohonan yang seolah-olah bergerak mundur akibat laju mobilnya. Dia termangu di kursi belakang sambil menggigiti kuku. Sampai akhirnya Danny menerima sebuah telepon yang membuat keresahannya semakin memuncak.
Dia menatap layar ponselnya dengan mata membulat sambil menelan saliva yang serasa tercekat ditenggorokan.
“Ke-kenapa George meneleponku? Apa dia tahu?” tanya Danny dengan suara gemetar. Raut panik yang tersirat di wajahnya tak mampu ia sembunyikan.
Seorang pria paruh baya di sebelahnya menoleh pelan lalu menatap nanar ke arah Danny. Sebelum melontarkan sepatah kata, pria itu menghisap cerutu lalu mengepulkan asapnya ke wajah Danny.
“Angkat dan tenangkan dirimu!” ucap pria itu dengan raut datar.
Danny mengangguk, berusaha menyanggupi. Dia menghirup napas panjang lalu mengembuskannya secara perlahan untuk mengatur suaranya agar terdengar stabil.
Namun, baru saja Danny menyentuh lambang berwarna hijau untuk mengangkat panggilannya, dia dapat mendengar jelas suara umpatan dan teriakan George dari balik telepon. Sampai-sampai Danny tak kuasa untuk menempelkan benda pipih tersebut di telinganya.
Berbagai macam umpatan dan makian George lontarkan terhadap Danny. Namun dengan bimbingan pria paruh baya di sebelahnya, Danny mencoba untuk bersikap tenang dan bertanya tanpa rasa dosa.
“Apa yang sedang kau bicarakan, George? Aku benar-benar tak mengerti.”
George semakin mengerang frustrasi hingga tiba mobil ambulans dan pihak kepolisian yang membantu untuk mengevakuasi jenazah Jonathan.
***


TAWANAN CINTA MAFIA TAMPANWhere stories live. Discover now