BAB 42

258 1 0
                                    

Gabby mengerutkan keningnya. Ucapan Raizel masih sulit dicerna oleh akal sehatnya, karena bertentangan dengan realita yang dia lihat. Pada akhirnya, Gabby juga keceplosan dan menyangkut-pautkan semua ini dengan Lascrea.

“Kalau kamu nggak permainkan aku, kamu nggak akan mungkin ciuman sama Lascrea, Bos!”

Kedua mata Raizel membulat secara otomatis bersamaan mulutnya yang terbuka lebar.

Bagaimana mungkin Gabby bisa berbicara dengan lugas mengenai kejadian itu? Raizel mengingat-ingat apakah dia pernah bercerita kepada Gabby? Seingatnya tidak. Jika gadis itu bisa tiba-tiba tahu, berarti ada satu kemungkinan yang terpikirkan oleh Raizel.

“Ja-jadi kamu ngintip?” tanya Raizel sedikit memekik. Sepertinya dia cukup syok.

Namun, Gabby tak kalah syok dan balik memekik untuk menyanggahnya.

“Ih, bukan ngintip! Tapi nggak sengaja lihat!” Rasa kesal dan malu kini melebur jadi satu.

Rizel menghela napas panjang sambil mengusap kasar wajahnya. Kepalanya menggeleng, tak habis pikir dengan Gabby. Sampai akhirnya dia tersadar akan satu hal yang membuatnya menoleh ke arah gadis itu.

“Kamu cemburu?” tanya Raizel, menyeringai.

“Gila kali! Buat apa aku cemburuin Pak Bos!”

Mulut Gabby bisa saja berbohong, tapi sorot mata dan kedua pipinya yang memerah, berkata sebaliknya. Tanpa dia sadari, dia memang cemburu akan kedekatan Raizel dan Lascrea. Gabby merasa bahwa perlakuan Raizel yang sangat manis akhir-akhir ini terhadap dirinya memang karena gadis itu spesial. Berbeda dengan Lascrea atau gadis yang pernah Raizel temui.

Akhirnya pria itu mendengus kasar lalu menyibak selimut dan bangkit dari kasur dan berjalan menghampiri Gabby. Bukannya lupa kalau dia belum berpakaian, hanya saja Raizel berbuat sengaja untuk memancing Gabby hingga gadis itu harus memekik karena terkejut.

“Pak Bos, selimutnya!”

Sontak Gabby pun menutup mata saat pandangannya ternodai oleh seonggok daging yang menggelantung bersama dua bola-bola kecil. Gadis itu merasa malu walau sudah pernah melihat bahkan merasakannya.

“Kenapa? Bukannya kamu suka aku? Kenapa kamu nggak bilang kalau suka aku?”

Raizel memberondong pertanyaan untuk meruntuhkan tembok pertahanan Gabby hingga gadis itu tak berkutik. Dia pun melangkah semakin dekat, membuat Gabby berjalan mundur, hingga punggungnya menyentuh lemari dan dia pun tersudutkan. Gabby semakin rapat memejamkan matanya tatkala Raizel meletakkan kedua tangannya di antara kiri dan kanan kepala Gabby. Lengan kekar yang dipenuhi tato itu tampak terlihat dengan jelas jika Gabby menoleh.

“A-aku nggak suka sama Pak Bos,” ucap Gabby gemetar. Kedua matanya masih terpejam kuat seraya menunduk. Dia meracau apa saja agar Raizel melepaskannya. Setidaknya mundur beberapa langkah dan tidak terlalu dekat. Bisa copot jantung Gabby.

Alih-alih mundur atau menjauh dari gadis manis di hadapannya, Raizel malah menunduk, agar wajahnya semakin dekat. Tangan kanan Raizel meraih dagu lancip Gabby hingga dia mendongak. Rasanya seperti dejavu. Gabby pernah merasakan momen mendebarkan ini dalam situasi dan posisi yang sama saat dirinya berada di El Camorra.

‘Kenapa selalu seperti ini? Apakah ini takdir? Kalau iya, kenapa aku harus ditakdirkan dengannya! Tuhan, aku mohon tolong aku.’

Rasanya Gabby hampir kehabisan oksigen karena untuk bernapas pun dia merasa gugup akibat jarak yang terlalu dekat. Gabby coba membuka matannya untuk mengintip, habis itu tertutup lagi karena tak sanggup melihat ketampanan Raizel dari dekat.

Melihat tingkahnya yang sangat menggemaskan, Raizel pun menyunggingkan senyum.

“Kamu nggak suka aku, Gabby?” tanya Raizel pelan.

Gadis itu pun mengangguk cepat walaupun tak lebih cepat dari debar jantungnya saat ini.

“Tapi aku suka kamu, Gabb!”

***

TAWANAN CINTA MAFIA TAMPANOù les histoires vivent. Découvrez maintenant