Bab 49

210 3 0
                                    

“Kamu lagi belajar banyak gaya buat nyenengin aku, ya?” goda Raizel hingga membuat wajah Gabby memerah bak kepiting rebus.

“Ih, apaan sih. Udah sini, balikin!” gerutu Gabby.

Bisa-bisanya Raizel menemuka buku yang sudah sengaja Gabby sembunyikan di balik bantal saat Raizel berkata di telepon ingin memasuki kamarnya.

“Hehe, kenapa malu? Aku justru bangga kalau kamu mau belajar banyak hal, jadinya wawasanmu luas kalau banyak baca. Tapi, sayangnya malam ini aku bukan mau itu.”

Gabby masih mengerutkan wajahnya, pertanda kesal.

“Apa, sih. Lagian siapa juga yang berharap itu.”

“Ah, masa, sih?” Raizel pun menggelitik pinggang Gabby hingga gadis itu menggelinjang karena merasa geli.

“Ahh, geli, Rai! Stop!”

“Hehe, yaudah, maaf. Sini peluk aja!” Raizel merapatkan tubuhnya untuk memeluk Gabby.

“Jangan godain terus, nanti aku usir kamu!” ancam Gabby.

“Galak amat!” protes Raizel, mencubit hidung Gabby dengan gemas.

“Hmmm, emang kamu kenapa malem-malem ke sini?”tanya Gabby setelah menepis tangan Raizel yang menempel di hidungnya.

“Aku capek sama mimpi buruk yang tiada akhir.”

Seketika, raut ketus yang semula tersirat di wajah Gabby, perlahan memudar. Berganti dengan raut khawatir saat menatap wajah sendu Raizel.

“Kamu kenapa selalu mimpi buruk?”

“Entahlah. Sejak kepergian kedua orang tuaku, aku selalu bermimpi buruk. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dan perlu diselesaikan agar mimpi buruknya berakhir. Tapi aku nggak tahu apa.”

Gabby terlihat meringis. Dia pun mengelus kepala Raizel agar pemuda itu tampak tenang.

“Kalau boleh tahu, apa yang kamu alami dalam mimpi?” tanya Gabby.

Raizel menatap langit-langit kamar Gabby, mencoba mengingat detail kejadian yang dia alami saat bermimpi buruk.

“Di mimpi itu awalnya aku bahagia bersama ibu. Kami bermain bersama, bahkan ada ayah juga di sana. Namun entah mengapa tiba-tiba mereka pergi begitu saja, meninggalkanku yang menangis seorang diri.”

Gabby yang tak tega mendengar Raizel bercerita kesedihan seperti itu, seketika berinisiatif untuk memeluknya.

“Sepertinya kamu sangat merindukan mereka, atau sebaliknya,” timpal Gabby.

Raizel menghela napas panjang lalu menggeleng. “Entahlah.”

“Kamu nggak mau jenguk mereka?” tanya Gabby kembali.

“Aku sudah lama ,sih, tak berkunjung ke pemakaman. Bagaimana kalau besok kita pergi ke pemakaman? Sekalian menjenguk orang tuamu juga.”

Gabby tersenyum sambil mengangguk. Entah mengapa dia merasa lega saat raut sendu Raizel kini berubah menjadi semringah.

“Mulai sekarang kau tak perlu mendapatkan persetujuanku, Rai. Aku bersedia ikut denganmu ke mana pun,” ucap Gabby dengan tegas.

“Sungguh?” tanya Raizel dengan sorot mata berbinar.

Gabby mengangguk antusias.

“Terima kasih, Sayang.”

Raizel menghirup rambut Gabby dalam-dalam. Dia dapat merasakan aroma strawberry pada rambut Gabby yang sekarang sudah bondol. Tentu aja perlakuan manis itu memunculkan rona merah di pipi Gabby seperti biasa.

“Sebentar lagi kita akan berpisah karena aku harus tinggal di apartemen yang kau sewakan,” kata Gabby, menunjukkan raut kesedihan.

“Makanya kita puas-puasin dulu waktu berdua. Mau gimana lagi, kita harus cepat menjebak Cowok Brengsek itu dan menjadikanmu sebagai umpan. Tapi selama meanjalankan misi, aku harap kamu nggak berpaling dari aku, ya! Jangan sampai kamu jatuh cinta sama dia.”

Gabby terkekeh mendengar ucapan Raizel. Bisa-bisanya pria sepertinya mengkhawatirkan hal sepert itu, bagaikan ABG yang sedang mengalami pubertas. Alih-alih mengiyakan ucapan Raizel, Gabby memilih untuk menggodanya dan memancing kecemburuan Raizel agar semakin terlihat jelas.

“Nggak tahu, ya! Kita lihat aja nanti. Siapa tahu dia lebih ganteng.”

“Ahh, jangan!” Raizel mengeratkan pelukannya dan merengek seperti anak kecil. “Kamu milik aku!”

Gabby tak dapat menahan tawanya melihat pria maskulin yang biasa dia lihat kini terlihat sangat menggemaskan.

***

TAWANAN CINTA MAFIA TAMPANOnde histórias criam vida. Descubra agora