Bab 64

130 1 0
                                    

“Loh, kamu?” Gabby mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum semringah saat mendapati George berada di rumah makan yang dia kunjungi.

Dion terpaku beberapa detik untuk mencerna situasi yang sedang terjadi. Dia melirik ke arah George, lalu bergantian melirik Gabby yang terlihat sangat manis dengan hoodie oversized-nya.

‘Oh, pantesan mau tanggung jawab. Yang ditabraknya modelan begini’

Dion mengangguk-angguk, seolah paham apa isi hati George saat bertemu dengan wanita itu untuk pertama kali.

“Uh. Hai!” George mencoba menyapa walau terlihat jelas bahwa dia sangat gugup.

“Kamu kok bisa ada di sini? Kamu nggak ngikutin aku, kan?” tanya Gabby dengan mata terpicing lalu melipat kedua tangan di depan dada.

“Hah? Enggak, kok! Kita berdua emang kerja di sekitar sini.” Dion berusaha menjelaskan dan membela George.

“Ekhem!”

Sementara George rupanya tak setuju dengan ide tersebut. Dia pun berdeham untuk memberi kode. Jangan sampai wanita itu tahu kalau George adalah anggota BIN.

Dion menoleh ke arah George saat dia berdeham. Kemudian menutup mulut agar tak berbicara lebih jauh.

“Kamu kerja di sekitar sini? Kok kemarin nggak bilang?” tanya Gabby lagi, menunjukkan raut curiga.

Namun, bukan George namanya jika tak memiliki ide untuk menyelamatkan diri dari situasi seperti ini.

“Emm, aku pikir aku nggak perlu bicara karena ini hari terakhirku kerja. Aku sudah mengajukkan surat resign.”

Gabby mengangkat kedua alisnya.

“Oh, ya? Sayang banget. Sekarang kita sama-sama pengangguran, dong?”

George tertawa pedar sambil menyikut Dion untuk mengajaknya tertawa juga

“Haha, iya. Kita sama- sama pengangguran.”

Dion hanya tersenyum meringis, melihat tingkah temannya yang seperti itu.

“Oh iya. Ngomong-ngomong kamu suka beli makan di sini? Kok, aku nggak pernah liat?”

Gabby menelan ludah dan terdiam beberapa detik hingga akhirnya menjawab, “Emm, biasanya aku pesan makanan cepat saji lewat online. Tapi sekarang lagi pengen coba makanan masakan rumah.”

George mengangguk-angguk. “Ohh, gitu. Ya udah, pesen dulu aja! Aku sama temenku duluan, ya!”

Pria itu rupannya ingin buru-buru kabur dari Gabby.

“Loh?” Dion terperanjat. Pasalnya makanan mereka belum habis.

“Makanan kalian masih banyak, loh. Nggak mau makan bareng sambil ngobrol?” tanya Gabby dengan mata terpicing.

“Tau, nih,” bisik Dion, tapi malah dicubit oleh George sehingga dia meringis.

“Emm, jam istirahat kita udah abis. Jadi harus buru-buru masuk. Hari terakhir kerja harus kasih kesan yang baik, kan?” kilah George, disusul oleh dengusan Gabby.

“Oke kalau begitu. Hati-hati, ya!”

George mengangguk sambil tersenyum hambar.

“Sampai jumpa lagi, Anggela!”

“Sampai jumpa lagi, Ello!”

Dion semakin bingung saat Gabby menyebut nama sahabatnya dengan sebutan Ello. Meskipun tak ada waktu untuk bertanya karena saat itu juga dia harus keluar dari rumah makan dengan langkah yang terseret-seret karena ditarik oleh George.

Karena waktu istirahat masih panjang, George langsung mengajak Dion ke kantin yang berada di kawasan kantor dan mentraktirnya makan karena sebenarnya mereka masih sangat lapar.

“Lo nggak ada niatan buat deket sama dia emang? Siapa tadi namanya?” tanya Dion usai terduduk di meja kantin.

“Angella,” jawab George ketus.

“Iya itulah pokoknya. Dia cantik, loh. Emang nggak ada niatan buat deket, sampe harus rahasiain identitas lo?”

George menggeleng sambil tersenyum. “Mau secantik apa pun, di mata gue dia tetep orang asing. Jaga-jaga nggak masalah, kan?”

Dion menghela napas gusar sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal.

“Huh, gimana mau punya istri,” sindir Dion, membalikkan ucapan George.

“Sial, lo!”

***

TAWANAN CINTA MAFIA TAMPANWhere stories live. Discover now